Terdengar
suara gaduh: perbincangan dua orang diiringi nada kepanikan, deru suara mesin,
bahkan ada suara seperti bising putaran baling - baling. Suara ribut baling -
baling sangat identik ditelingaku, karena pekerjaanku sebagai mekanik pesawat
terbang, bisa kupastikan itu suara baling - baling helikopter.
Kegaduhan
aneka ragam suara itu mendorongku membuka mata ini. Ketika kelopak mata ini
sudah bergerak dan memberikan kebebasan pada kornea mataku untuk menerima
cahaya, hal pertama yang kudapati adalah samar - samar wajah dua orang yang
menyiratkan ekspresi panik. Entah kenapa penglihatanku tidak begitu jelas
seolah tertutupi kabut. Dua orang itu seperti memakai seragam loreng - loreng
bak tentara. Aku ingin menggerakkan badanku, namun tak bisa. Kuamati sekeliling
meski tidak jelas namun aku merasakan sepertinya tubuhku diikat erat pada sebuah
tandu.
Dua
orang itu menanyakan keadaanku. Aku tidak mengerti mengapa mereka menanyakan
kondisiku? Aku tak ingin menjawab pertanyaan mereka. Aku sebenarnya malah ingin
mengajukan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang ingin keluar dari mulutku
adalah apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku? Dimana aku sekarang ini?
Namun sepertinya organ - organ tubuhku tidak bekerja dengan baik. Setelah
penglihatan yang kabur, kali ini syarafku juga tidak bekerja dengan normal. Apa
aku lumpuh? Menggerakkan lidahku saja untuk melontarkan sebuah kata, aku bahkan
tak sanggup.
Dua
orang berseragam itu memberikan sebuah kode diarahkan ke langit - langit.
Kemudian dengan pelan dan bertahap tubuhku serasa diangkat. Sebuah angin
kencang melewatiku. Kurasakan tandu ini bergerak - gerak goyah diterpa angin.
Keadaan yang seperti itu menguatkan dugaan bahwa posisiku sedang melayang di
udara. Ada suara derit gesekan tali kawat yang kokoh dan suara bising baling -
baling yang seolah semakin mendekat. Dari profesi yang kugeluti, aku bisa
memastikan suara gesekan itu adalah katrol dari badan helikopter yang berputar
menarik tali kawat yang terpasang erat pada tandu yang bermuatan tubuh tak
berdayaku ini. Mau dibawa kemanakah aku? Rasa lemas luar biasa tiba - tiba
menyerang sekujur tubuhku seolah seperti baru saja disuntik obat bius. Lalu
kemudian aku tak bisa lagi menahan kelopak mataku untuk kembali terjaga.
"Ridwan.....Ridwan....!"
Seseorang memanggilku. Aku sangat mengenali suara itu.
"Ridwan,,!"
Kali ini suaranya menggelegar dan terdengar sangat dekat seolah sumber suara
itu berada disamping kupingku.
Kudapati
wajahku tercermin dalam sebuah genangan air. Dalam posisi duduk dan pandangan
mengarah ke bawah, aku terkejut karena wajah yang tercemin dalam genangan air
dihadapanku adalah wajah diriku 20 tahun silam ketika diriku berumur 10 tahun.
"Ridwan,"
suara yang tak asing lagi bagiku itu meneriakkan namaku untuk yang kesekian kalinya.
Aku
menoleh ke sumber suara. Kudapati, sebuah gadis yang berumur 10 tahun sama
dengan posisiku saat ini. Dia berambut pirang sebatas bahu, mempunyai pipi yang
agak tembem, hidungnya pesek. Gadis itu tersenyum. Perpaduan dua buah gisul
giginya yang menonjol, lesung pipi, dan mata lebarnya, membuat senyuman itu
entah kenapa selalu membekas di hati ini. Laila, tiba - tiba saja aku mengingat
namanya.
"Pantainya
tak jauh lagi loh. Apa hanya jalan 3 kilometer saja kamu sudah secapek
itu?" Kata Laila. Kemudian dia meraih tanganku, menariknya sekuat tenaga
yang akhirnya membuatku berdiri tegap. Wajah kami bertatap pandang.
Ketika
menatap wajahnya, entah kenapa kurasakan rindu yang sangat mendalam. Aku tak
berkedip memandangi dirinya. Tiba - tiba muncul perasaan seperti tidak ingin
jauh darinya.
"Ada
apa? Kenapa kamu memandangiku seperti itu?"
"Ah,"
Aku tersentak dengan pertanyaan Laila.
"Ya
sudah, ayo ikuti aku kalau begitu," Ujar Laila sambil memalingkan badan.
Kuamati
sekeliling, aku berada di sebuah jalan yang terbangun oleh pasir putih, diapit
oleh banyaknya pepohonan yang membuat rindang. Aku mengingat - ingat dan merasa
sepertinya aku pernah menapaki jalanan ini 20 tahun silam. Tapi aku tak yakin
apakah aku menapakinya bersama Laila.
Tanpa
sadar, aku melamun terlalu lama. Kudapati Laila sudah berjarak 20 meter dariku.
Aku berjalan cepat menyusulnya. Ditengah perjalanan, kudengar suara seseorang
merintih kesakitan. Disusul dengan suara tangisan seseorang. Dan lagi suara
gaduh ratusan langkah hilir - mudik manusia.
"Laila..!!"
Teriakku. Kemudian dia berhenti ketika jarak kami hanya 3 meter dan dia menoleh
kepadaku.
"Kamu
mendengar sesuatu?" Tanyaku dan Laila hanya geleng kepala menandakan dia
tak mendengar apa - apa.
Suara
- suara itu semakin mendekat. Aku menjadi ngeri dibuatnya. Kututup sepasang
telingaku dengan kedua telapak tanganku. Tapi usahaku tak berdampak apapun.
Suara - suara itu malah semakin membesar dan seolah mengelilingku. Aku kemudian
berlutut dan memejamkan mataku. Kudengar langkah Laila mendekatiku dan
meneriakkan namaku berulang kali dengan nada panik.
@@@@@
Kubuka
mata ini. Yang terlihat bukanlah pasir putih, rerindangan dedaunan, maupun
sosok Laila. Melainkan, ratusan orang yang tergeletak di ranjangnya masing –
masing. Bahkan ada puluhan orang yang tak mendapatkan jatah ranjang. Mereka
digeletakkan di tikar seadanya. Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Banyak
luka di tubuh mereka. Ada yang sudah mendapatkan penanganan, sebagian kecil
sisanya sepertinya masih belum mendapatkan tindakan. Ceceran darah yang sudah
mengering sepertinya hal yang wajar memenuhi lantai ruangan. Kulihat kami semua
dirawat pada suatu ruangan mirip aula yang sangat besar. Entah dimana aku tidak
bisa memastikannya.
Suara
rintihan orang menahan rasa sakit, bersedih, stress, menangis, membaur menjadi
satu dan menjadikan suasana terkesan seperti keributan massal. Kulihat orang –
orang berseragam formal dengan banyak ceceran darah di tubuhnya hilir mudik
dengan wajah serius dan panik. Kupikir mereka dokter maupun perawat yang
menangani semua kekacuan ini yang entah disebabkan karena apa.
Kudapati
tangan kiriku diperban. Kedua kakiku di gips
- sehingga aku tak bisa menggerakan mereka semua. Yang tersisa hanya tangan
kananku yang sepertinya tak terluka namun dinodai dengan warna memar. Leherku
yang untungnya tidak kenapa – kenapa sehingga aku bisa menoleh pelan kekanan
dan kekiri mencerna situasi disekitarku meskipun hanya menggerakkan leher saja
rasanya butuh kemampuan ekstra. Sebuah infus terpasang di hidungku dan kuikuti
selang panjangnya yang bermuara pada kantung infus yang tergantung di tiang alumunium
dan terlihat cairannya sepertinya sudah mau habis.
Seorang
lelaki berumur dua puluh tahunan, berbaju formal dengan tampang lelah dan kucel
melewatiku. Dia mendapati diriku tersadar dan langsung bergegas menghampiriku.
Dia mengeluarkan sebuah senter mungil, membelalakkan bergantian dua buah
kelopak mataku, menyinarinya dengan senter. Penglihatanku benar – benar silau
dibuatnya. Sayangnya aku masih tetap merespon apa yang dilakukan pemuda itu
dengan diam karena lemas.
“Anda
sudah tak sadarkan diri semenjak tiba disini kurang lebih 3 hari yang lalu.
Kupikir tubuh Anda tak mampu melewatinya, tapi Syukurlah Anda siuman.”
Begitulah penjelasan yang kudapat dari pemuda itu.
Setelah
itu kemudian rasa kantuk kembali menyerangku. Kelopak mata Ini rasanya kembali
ingin menutup. Kudengar pemuda itu meneriakkan sesuatu pada rekannya sebagai
bentuk penanganan ketika pandanganku sudah gelap.
@@@@@
Kurasakan
hilir desir angin yang berhembus di wajahku. Terdengar suara gesekan dedaunan
dan ranting seolah seperti sebilah pedang yang saling beradu tangkas terus
menerus tak berhenti. Kubuka pelan mataku yang seolah lengket terkena cairan
lem.
Terik
sinar matahari yang menyilaukan adalah hal pertama yang kudapati. Kemudian
sinar itu redup digantikan wajah seorang gadis yang tak asing lagi bagiku.
Kusadari kepalaku bersandar pada kedua belah paha seorang gadis dan posisi
pandanganku tertuju ke langit – langit.
“Hei,
sudah sadar rupanya," kata gadis yang memandangiku dari atas.
Rambut
gadis itu terurai kebawah hampir menyentuh hidungku. Raut wajahnya entah kenapa
ketika memandangiku terasa sungguh menyejukkan batinku meskipun tampangnya
masih kanak - kanak.
“La...Laila...,”
Kataku lemas sambil samar – samar kudengar desir ombak pesisir pantai dari
kejauhan.
BERSAMBUNG....
kenapa aku ikut tegang ya? biuhhh ditunggu kelanjutannya, mana pesek tuh cewek? mancung gitu gambarnya ahah
ReplyDeleteKalau tegang pegangan ma suaminya dumz mbak Evi hehe :) Lha itu digambar malah gak begitu kelihatan hidungnya :D Oke, mudah2an bisa secepatnya ditulis kelanjutannya :)
DeleteEh ._. aku penasaran sama kelanjutannya nih :D masih bingung dengan apa yang terjadi :D
ReplyDeleteHehehe makasih mas Febri dah mampir :) Secepatnya tak tulis kelanjutannya :)
Deleteikut excited juga jadinya, dan ditunggu sambungan ceritanya mas.
ReplyDeleteIya pasti, gan. Makasih dah mau menantikan kelanjutannya :) sesegera mungkin ya gan ane buatnya, InsyAllah :)
DeleteMantap gan, happy blogging :)
ReplyDelete