Saturday, May 28, 2016

CERBUNG : KESEPAKATAN KATA HATI BAGIAN 1



Terdengar suara gaduh: perbincangan dua orang diiringi nada kepanikan, deru suara mesin, bahkan ada suara seperti bising putaran baling - baling. Suara ribut baling - baling sangat identik ditelingaku, karena pekerjaanku sebagai mekanik pesawat terbang, bisa kupastikan itu suara baling - baling helikopter. 

Kegaduhan aneka ragam suara itu mendorongku membuka mata ini. Ketika kelopak mata ini sudah bergerak dan memberikan kebebasan pada kornea mataku untuk menerima cahaya, hal pertama yang kudapati adalah samar - samar wajah dua orang yang menyiratkan ekspresi panik. Entah kenapa penglihatanku tidak begitu jelas seolah tertutupi kabut. Dua orang itu seperti memakai seragam loreng - loreng bak tentara. Aku ingin menggerakkan badanku, namun tak bisa. Kuamati sekeliling meski tidak jelas namun aku merasakan sepertinya tubuhku diikat erat pada sebuah tandu.


Dua orang itu menanyakan keadaanku. Aku tidak mengerti mengapa mereka menanyakan kondisiku? Aku tak ingin menjawab pertanyaan mereka. Aku sebenarnya malah ingin mengajukan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang ingin keluar dari mulutku adalah apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku? Dimana aku sekarang ini? Namun sepertinya organ - organ tubuhku tidak bekerja dengan baik. Setelah penglihatan yang kabur, kali ini syarafku juga tidak bekerja dengan normal. Apa aku lumpuh? Menggerakkan lidahku saja untuk melontarkan sebuah kata, aku bahkan tak sanggup.   

Dua orang berseragam itu memberikan sebuah kode diarahkan ke langit - langit. Kemudian dengan pelan dan bertahap tubuhku serasa diangkat. Sebuah angin kencang melewatiku. Kurasakan tandu ini bergerak - gerak goyah diterpa angin. Keadaan yang seperti itu menguatkan dugaan bahwa posisiku sedang melayang di udara. Ada suara derit gesekan tali kawat yang kokoh dan suara bising baling - baling yang seolah semakin mendekat. Dari profesi yang kugeluti, aku bisa memastikan suara gesekan itu adalah katrol dari badan helikopter yang berputar menarik tali kawat yang terpasang erat pada tandu yang bermuatan tubuh tak berdayaku ini. Mau dibawa kemanakah aku? Rasa lemas luar biasa tiba - tiba menyerang sekujur tubuhku seolah seperti baru saja disuntik obat bius. Lalu kemudian aku tak bisa lagi menahan kelopak mataku untuk kembali terjaga. 

"Ridwan.....Ridwan....!" Seseorang memanggilku. Aku sangat mengenali suara itu.

"Ridwan,,!" Kali ini suaranya menggelegar dan terdengar sangat dekat seolah sumber suara itu berada disamping kupingku.

Kudapati wajahku tercermin dalam sebuah genangan air. Dalam posisi duduk dan pandangan mengarah ke bawah, aku terkejut karena wajah yang tercemin dalam genangan air dihadapanku adalah wajah diriku 20 tahun silam ketika diriku berumur 10 tahun.

"Ridwan," suara yang tak asing lagi bagiku itu meneriakkan namaku untuk  yang kesekian kalinya.

Aku menoleh ke sumber suara. Kudapati, sebuah gadis yang berumur 10 tahun sama dengan posisiku saat ini. Dia berambut pirang sebatas bahu, mempunyai pipi yang agak tembem, hidungnya pesek. Gadis itu tersenyum. Perpaduan dua buah gisul giginya yang menonjol, lesung pipi, dan mata lebarnya, membuat senyuman itu entah kenapa selalu membekas di hati ini. Laila, tiba - tiba saja aku mengingat namanya.

"Pantainya tak jauh lagi loh. Apa hanya jalan 3 kilometer saja kamu sudah secapek itu?" Kata Laila. Kemudian dia meraih tanganku, menariknya sekuat tenaga yang akhirnya membuatku berdiri tegap. Wajah kami bertatap pandang.

Ketika menatap wajahnya, entah kenapa kurasakan rindu yang sangat mendalam. Aku tak berkedip memandangi dirinya. Tiba - tiba muncul perasaan seperti tidak ingin jauh darinya.

"Ada apa? Kenapa kamu memandangiku seperti itu?"

"Ah," Aku tersentak dengan pertanyaan Laila.

"Ya sudah, ayo ikuti aku kalau begitu," Ujar Laila sambil memalingkan badan.

Kuamati sekeliling, aku berada di sebuah jalan yang terbangun oleh pasir putih, diapit oleh banyaknya pepohonan yang membuat rindang. Aku mengingat - ingat dan merasa sepertinya aku pernah menapaki jalanan ini 20 tahun silam. Tapi aku tak yakin apakah aku menapakinya bersama Laila.

Tanpa sadar, aku melamun terlalu lama. Kudapati Laila sudah berjarak 20 meter dariku. Aku berjalan cepat menyusulnya. Ditengah perjalanan, kudengar suara seseorang merintih kesakitan. Disusul dengan suara tangisan seseorang. Dan lagi suara gaduh ratusan langkah hilir - mudik manusia.

"Laila..!!" Teriakku. Kemudian dia berhenti ketika jarak kami hanya 3 meter dan dia menoleh kepadaku.

"Kamu mendengar sesuatu?" Tanyaku dan Laila hanya geleng kepala menandakan dia tak mendengar apa - apa.

Suara - suara itu semakin mendekat. Aku menjadi ngeri dibuatnya. Kututup sepasang telingaku dengan kedua telapak tanganku. Tapi usahaku tak berdampak apapun. Suara - suara itu malah semakin membesar dan seolah mengelilingku. Aku kemudian berlutut dan memejamkan mataku. Kudengar langkah Laila mendekatiku dan meneriakkan namaku berulang kali dengan nada panik.

@@@@@

Kubuka mata ini. Yang terlihat bukanlah pasir putih, rerindangan dedaunan, maupun sosok Laila. Melainkan, ratusan orang yang tergeletak di ranjangnya masing – masing. Bahkan ada puluhan orang yang tak mendapatkan jatah ranjang. Mereka digeletakkan di tikar seadanya. Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Banyak luka di tubuh mereka. Ada yang sudah mendapatkan penanganan, sebagian kecil sisanya sepertinya masih belum mendapatkan tindakan. Ceceran darah yang sudah mengering sepertinya hal yang wajar memenuhi lantai ruangan. Kulihat kami semua dirawat pada suatu ruangan mirip aula yang sangat besar. Entah dimana aku tidak bisa memastikannya.

Suara rintihan orang menahan rasa sakit, bersedih, stress, menangis, membaur menjadi satu dan menjadikan suasana terkesan seperti keributan massal. Kulihat orang – orang berseragam formal dengan banyak ceceran darah di tubuhnya hilir mudik dengan wajah serius dan panik. Kupikir mereka dokter maupun perawat yang menangani semua kekacuan ini yang entah disebabkan karena apa.

Kudapati tangan kiriku diperban. Kedua kakiku di gips - sehingga aku tak bisa menggerakan mereka semua. Yang tersisa hanya tangan kananku yang sepertinya tak terluka namun dinodai dengan warna memar. Leherku yang untungnya tidak kenapa – kenapa sehingga aku bisa menoleh pelan kekanan dan kekiri mencerna situasi disekitarku meskipun hanya menggerakkan leher saja rasanya butuh kemampuan ekstra. Sebuah infus terpasang di hidungku dan kuikuti selang panjangnya yang bermuara pada kantung infus yang tergantung di tiang alumunium dan terlihat cairannya sepertinya sudah mau habis.

Seorang lelaki berumur dua puluh tahunan, berbaju formal dengan tampang lelah dan kucel melewatiku. Dia mendapati diriku tersadar dan langsung bergegas menghampiriku. Dia mengeluarkan sebuah senter mungil, membelalakkan bergantian dua buah kelopak mataku, menyinarinya dengan senter. Penglihatanku benar – benar silau dibuatnya. Sayangnya aku masih tetap merespon apa yang dilakukan pemuda itu dengan diam karena lemas.

“Anda sudah tak sadarkan diri semenjak tiba disini kurang lebih 3 hari yang lalu. Kupikir tubuh Anda tak mampu melewatinya, tapi Syukurlah Anda siuman.” Begitulah penjelasan yang kudapat dari pemuda itu.

Setelah itu kemudian rasa kantuk kembali menyerangku. Kelopak mata Ini rasanya kembali ingin menutup. Kudengar pemuda itu meneriakkan sesuatu pada rekannya sebagai bentuk penanganan ketika pandanganku sudah gelap.

@@@@@

Kurasakan hilir desir angin yang berhembus di wajahku. Terdengar suara gesekan dedaunan dan ranting seolah seperti sebilah pedang yang saling beradu tangkas terus menerus tak berhenti. Kubuka pelan mataku yang seolah lengket terkena cairan lem.

Terik sinar matahari yang menyilaukan adalah hal pertama yang kudapati. Kemudian sinar itu redup digantikan wajah seorang gadis yang tak asing lagi bagiku. Kusadari kepalaku bersandar pada kedua belah paha seorang gadis dan posisi pandanganku tertuju ke langit – langit.

“Hei, sudah sadar rupanya," kata gadis yang memandangiku dari atas.

Rambut gadis itu terurai kebawah hampir menyentuh hidungku. Raut wajahnya entah kenapa ketika memandangiku terasa sungguh menyejukkan batinku meskipun tampangnya masih kanak - kanak.

“La...Laila...,” Kataku lemas sambil samar – samar kudengar desir ombak pesisir pantai dari kejauhan.  

                                                            BERSAMBUNG....


7 comments:

  1. kenapa aku ikut tegang ya? biuhhh ditunggu kelanjutannya, mana pesek tuh cewek? mancung gitu gambarnya ahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau tegang pegangan ma suaminya dumz mbak Evi hehe :) Lha itu digambar malah gak begitu kelihatan hidungnya :D Oke, mudah2an bisa secepatnya ditulis kelanjutannya :)

      Delete
  2. Eh ._. aku penasaran sama kelanjutannya nih :D masih bingung dengan apa yang terjadi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe makasih mas Febri dah mampir :) Secepatnya tak tulis kelanjutannya :)

      Delete
  3. ikut excited juga jadinya, dan ditunggu sambungan ceritanya mas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya pasti, gan. Makasih dah mau menantikan kelanjutannya :) sesegera mungkin ya gan ane buatnya, InsyAllah :)

      Delete