Sunday, May 31, 2015

CERBUNG HOW CAN BE PART 4

Memasuki awal musim penghujan, memang hawanya tidak begitu mengenakkan. Ketika mendung tiba, udara menjadi sedikit panas bercampur lembab. Aku tidak begitu suka keadaan seperti itu, membuat keringat ini dengan sendirinya keluar tanpa melakukan gerakan olahraga sedikitpun. Memang musim penghujan kali ini datang lebih cepat daripada tahun – tahun sebelumnya.

Pada tahun sebelumnya aku teringat jika hujan tiba, aku selalu bermain dengan Ujang, Rara dan Mimit di kamar kost dibelakang halaman rumah ketika belum ada penghuninya. Saat ini ketika hantaman air hujan yang bertubi – tubi membasahi genting rumahku, dari teras belakang rumah, sambil bersandar di mulut pintu, yang kulakukan hanya memandangi kandang Ujang, Rara dan Mimit dari kejauhan. Maap, aku tak tahu harus mengajak kalian kemana lagi jika hujan tiba. Markas bermain kita sekarang sudah dihuni oleh kak Andi. Kupikir mulai besok aku harus mengubah jadwal bermain kita mengingat musim penghujan sudah tiba.

Kupalingkan tatapanku pada kamar kost yang dihuni oleh Kak Andi. Kulihat pintunya tertutup erat. Begitu pula dengan jendelanya. Tak kudapati kali ini sepatu hitam yang biasanya tergeletak sembarangan di emperan terasnya. Yang kulihat hanyalah genangan – genangan kecil air yang terbentuk akibat siraman hujan. Kutengadahkan kepalaku dan kupandangi langit hitam yang mendung. Mengamati cuaca langit saat ini, rasa – rasanya suasana mendung juga sedang menyelimuti hatiku. Kak Andi hari Jum’at kemarin kemarin pamit pulang ke Surabaya  selama 3 hari karena alasan Ibunya sedang sakit. Mendengar itu dari Ayah berarti 3 hari ini aku harus belajar sendiri tanpa dirinya. Aku ingat malam Sabtu kemarin ketika mengerjakan soal – soal di LKS matematika. Aku bisa mengerjakan beberapa soal, konsentrasiku tak tergoyahkan ketika memecahkan perhitungan, hanya saja, sepertinya ada yang kurang dalam hati ini tanpa kehadiran kak Andi. Entahlah, mengapa aku merasa seperti kesepian tanpa kehadiran kak Andi? Bukannya ada Ayah, Ibu, Ujang, Rara dan Mimit? Tapi apapun itu, perasaan ini muncul begitu saja. Atau mungkinkah ini yang disebut rindu...? Aku tak mau banyak ambil pusing mengenai pergolakan yang terjadi di hatiku. Hari minggu sore ini, suasana ditutup dengan kucuran air hujan yang tak ada hentinya sejak siang tadi. Yang aku harap, semoga Ibu kak Andi cepat diberikan kesembuhan sehingga besok hari Senin aku bisa menyambut kepulangan dirinya.

******

Pada Senin sore yang cerah dan tidak hujan seperti hari – hari kemarin, setelah memasukkan Ujang, Rara dan Mimit ke dalam kandang, begitu senangnya diriku ketika mendapati  bahwa pintu kamar kost Kak Andi sudah terbuka sedikit. Kuperhatikan, sepatu warna hitamnya juga sudah berserakan di emperan teras, sesuai dengan sifat kak Andi yang tak pernah peduli dimana dia meletakkan sepatunya sesampainya di kost. Mengetahui itu, aku  langsung mandi. Anehnya mandi kali ini aku kerap menyanyikan lagu – lagu pop melow yang sedang hits di kancah siaran radio lokal ditempatku. Apakah aku terlalu girang karena kedatangan kak Andi sehingga aku menjadi terlalu ber-euforia yang akhirnya membuat Ayahku menegurku karena terlalu lama mendekam di kamar mandi  layaknya burung yang sedang mengerami sarangnya.

Setelah melaksanakan kewajiban shalat Mahgrib, tepat pada pukul 6 malam, aku langsung meluncur ke kost kak Andi. Aku sengaja ingin belajar lebih awal dengan alasan agar bisa lebih berlama – lama dengan dirinya. Tidak bertemu dengan kak Andi selama 3 hari saja, entah bagaimana rasa – rasanya seperti seminggu dan sontak saja aku teringat lagu romantis yang sedang ngetren di radio yang lirik lagunya sama dengan suasana hatiku saat ini. 

Namun dari kejauhan, begitu terkejutnya diriku mendapati bahwa kamar kost kak Andi gelap gulita tanpa penerangan lampu. Pintunya pun posisinya masih seperti tadi sore dengan posisi hanya terbuka sedikit. Rasa penasaran mendadak menyesaki otakku yang sontak membuatku langsung berlari ke arah kamarnya.

Ketika sampai di depan pintu, kuintip ke dalam pada celah pintu yang terbuka. Tidak begitu jelas apa yang terjadi di dalam karena gelap, namun karena sisa – sisa cahaya dari lampu penerangan kandang ayam, yang meski jaraknya berjauhan dengan kamar kak Andi, setidaknya sedikit membantuku untuk melihat sosok kak Andi yang sedang duduk membelakangi meja mungilnya. Apa yang dilakukannya gelap – gelap di dalam kamar duduk termenung diam dengan pandangan tertunduk seperti itu? Apa kak Andi masih sedih dengan kondisi ibunya yang sedang sakit?

Karena merasa ada yang tak wajar terjadi dengan diri kak Andi, maka kuberanikan diriku untuk mengetuk pintunya. Tok – tok – tok!!! Untuk ketukan yang ketiga sengaja kukeraskan kepalan tanganku pada kayu jati yang menjadi bahan dasar pintu kamar. Dan akhirnya berhasil, ketukan pintu yang kulakukan membuat kak Andi tersentak kaget dalam diamnya. Meski samar – samar, kulihat dia menoleh ke belakang. Akhirnya, kak Andi berdiri dengan cepatnya. Aku sempat takut karena keadaan di dalam gelap, dan sosok kak Andi hanya terlihat samar- samar dalam gelap, jantungku sempat berdegup kencang andai jika sok – sok hitam yang berdiri itu bukan kak Andi melainkan wewe gombel ataupun genderuwo. Tapi syukurlah, ketika lampu dinyalakan, 100% itu adalah sok – sok kak Andi yang asli bukan mahkluk jadi – jadian ataupun sebagainya seperti yang kukhawatirkan.

Krieettt bunyi pintu terbuka dan kak Andi berdiri tegap dihadapanku. “Oh, Lili,...” hanya itu kata yang terucap di mulutnya dengan nada lemas. Kulihat wajahnya sangat kusam, dan kupikir kak Andi belum mandi sepulang dari perjalanan. Sebulan berada di kost kuamati rambutnya sudah memanjang dan kondisinya kudapati saat ini sangat acak – acakan seakan kak Andi menjambaki sendiri rambutnya sampai amburadul. Kami sempat lama saling pandang dalam diam. Lebih tepatnya aku bingung ingin mengucapkan sepatah kata apa terhadap diri kak Andi yang kupikir berbeda kali ini. Dalam matanya, kulihat tatapan kosong yang seolah diriku tak ada dalam penglihatannya. Entah pikiran apa yang membebani dalam otaknya hingga membuatnya seperti ini, tapi kupikir karena keadaan ibunya yang sedang sakit.

“ Oh, ya Lili,” Ucap Kak Andi  masih dengan nada lemas. “ Bisakah hari ini kita tidak belajar bersama dulu? Emm..badanku agak tidak enakan.”

“Oh....,hanya begitulah reaksi kecewaku dengan permintaan kak Andi. Meskipun kulihat tak ada sedikit pun tanda – tanda meriang pada diri kak Andi. “Baiklah kak, aku pamit dulu,” kataku pada kak Andi yang kini bergantian menggunakan nada lemas.

“Oh, tunggu dulu Lili, “ Kak Andi seketika menghentikan langkahku. Hampir saja lupa, aku membawakan oleh – oleh untukmu dan Ayahmu, masuklah sebentar”. Perkataannya itu sedikit mengobati rasa kecewaku karena tak dapat belajar bersama hari ini, namun setidaknya ada sedikit waktu bagiku dengan kak Andi meski hanya perihal oleh – oleh.

Sesampainya di dalam kamar, kak Andi menyuruhku duduk di depan meja mungil sembari dirinya membelakangi diriku sambil membuka sebuah kardus yang diikat erat oleh tali rafia dan ditempel erat menggunakan plester. Di depanku, tergeletak sebuah buku catatan yang lupa ditutup oleh kak Andi. Buku itu mempunyai dimensi yang kecil namun tebal. Setelah kucermati ternyata buku itu adalah sebuah buku harian. Wow, kak Andi ternyata menulis dan mencurahkan segalanya di buku hariannya. Aku sendiri malah tak berfikir dua kali untuk menulis seperti apa yang dilakukan oleh kak Andi. Ujang, Rara dan Mimit adalah tempat terbaik bagiku untuk mencurahkan segalanya selama ini meski aku tahu mereka tidak akan paham semua yang aku utarakan namun aku merasa lega jika melakukannya.

Kalau dipikir – pikir, ternyata di dalam kamar ini daritadi kak Andi sedang menulis di buku hariannya. Tapi agak janggal juga jika kak Andi menulis dalam keadaan gelap gulita ketika diriku mengunjunginya. Yang kulihat samar – samar tadi bahwa kak Andi duduk tertunduk lesu dan pandangannya mengarah ke arah buku diari yang ada dihadapanku ini. Lalu apa yang direnunginya dari buku diari ini? Aku jadi penasaran dan otakku mulai mendesakku untuk memberikan perintah agar memanfaatkan kesempatan membaca tulisan yang tertuang dalam buku diari ketika kak Andi sedang sibuk mengeluarkan oleh – oleh dari dalam kardus. Ketika sebatas membaca dua kalimat, langsung aku menengadahkan kepalaku ke arah atas. Tidak boleh, tidak boleh, ini rahasia orang lain, aku tak boleh diam – diam membacanya .Seketika itu juga, handphone milik kak Andi bergetar dan layarnya yang berukuran besar menyala. Dan tanpa sengaja, aku membaca rentetan pesan yang membentuk kronologis seperti chat. Nama pengirimnya bernama Zaenal. Tetapi kak Andi dalam kontak pesannya memberikan nickname Zaenal bestfriend, menandakan Zaenal lebih dari sekadar teman, bisa jadi sahabat sejati. Dalam salah satu paragrahnya, aku sedikit tertegun ketika membacanya.

Bukankah sudah aku bilang. Ayunda bukanlah gadis yang baik buat kamu. Kupikir dia jadian dengan kamu hanya untuk mengisi hatinya yang kosong saat ditinggalkan oleh Anton kekasihnya yang pernah putus saat mereka SMA. Maap jika aku mengatakan kepadamu bahwa aku mendapati Ayunda dan Anton terlihat sangat berdekatan sekali ketika mereka berdua dipertemukan dalam satu desa tempat dimana mereka berdua saat ini PPL di Surabaya. Zack yang satu tempat PPL dengan Ayunda memberitahuku bahwa dia melihat kamu dan Ayunda terlibat adu mulut minggu kemarin. Hmm, tega sekali kamu tidak memberitahuku jika dirimu pulang beberapa hari ini ke Surabaya untuk menindaklanjuti laporanku mengenai Ayunda. Ingat, kau masih berhutang padaku lontong balap loh, hehe.

Begitulah, sebuah paragraph pesan masuk di hanphone milik kak Andi yang membuatku tertegun setelah membacanya. Di sini aku menemui titik terang bahwa ternyata kak Andi kembali ke Surabaya kemarin bukan karena urusan Ibunya yang sakit, melainkan menindaklanjuti masalah dengan pacarnya berdasarkan laporan – laporan dari sahabatnya Anton yang juga satu area PPL dengan Ayunda. Namun aku belum 100% paham betul dengan masalah yang dihadapi oleh kak Andi. Jalan alternatif untuk mengetahui semuanya adalah dengan membaca sebuah diari yang ada dihadapanku ini. Kutajamkan pandanganku ke arah lembaran kertas diari yang ada dihadapanku, kemudian kulanjutkan kembali tulisan dari dua kalimat awal yang sempat tertunda tadi. Namun tiba – tiba suara guntur muncul dengan kerasnya dan memekakkan telinga. Karena pintu kamar tidak ditutup, hembusan angin memasuki ruangan kamar. Beberapa lembar kertas diari tersibak karena hembusan angin, dan selembar kertas ukuran kartu nama namun sedikit lebih lebar keluar dari lembaran kertas yang tersibak dan terbang melayang. Dengan respon cepat aku menangkap kertas yang melayang itu. Dalam genggaman tanganku, aku merasakan bahwa ini adalah selembar foto. Posisi saat aku menggenggamnya adalah foto itu membelakangi wajahku. Jadi hanya lembaran warna putih bagian belakang foto saja yang kudapati. Tapi di lembaran warna putih yang memenuhi seluruh bagian belakang kertas poto itu terdapat tulisan My First Love. Aku sangat tahu tulisan tangan ini milik kak Andi. Ketika kubalikkan lembaran kertas foto itu, terdapat sebuah gambar seorang gadis setengah badan dengan raut wajah yang sedang tersenyum.

Gadis itu memakai seragam almameter kampus yang sama dengan kak Andi. Latar belakang di foto tersebut adalah sebuah pohon yang rindang di tengah taman yang luas. Gadis itu berwajah oval, namun kesan ovalnya tertutupi oleh model rambut pendeknya yang tidak sampai sebahu bergaya poni yang lebat diatas jidatnya. Bentuk wajah, gaya rambut disandingkan dengan senyumannya saat dipotret, memberikan keserasian yang optimal untuk menimbulkan sebuah kesan manis dan imut dalam dirinya. Di sisi bawah sebelah kanan foto tersebut, terdapat tulisan tangan kak Andi yang merangkai sebuah nama Ayunda Lestari.

Kresek – kresek, bunyi plastik terdengar seperti bunyi seekor tikus yang mencari – cari remahan makanan di semak – semak dapur. Ternyata bunyi itu berasal dari kak Andi yang sudah berhasil mengurai ikatan dan membuka kardus dan mengeluarkan beberapa makanan yang dibungkus oleh plastik yang tebal. Sontak saja ketika itu aku langsung kembali menyelipkan foto kak Ayunda kembali ke dalam tumpukan lembaran diari yang berada didepanku. Pas saat wajah kak Andi menoleh ke arahku sambil berkata mengenai oleh – oleh kerupuk ikan yang dibawanya, foto itu sudah aman kembali ke posisinya semula.

Setelah berpamitan kepada kak Andi aku berjalan menjauhi kostnya. Dengan kedua tanganku yang mendekap dua buah krupuk ikan oleh – oleh dari kak Andi beserta buku – buku LKS dan pelajaran yang kujadikan satu, aku mendadak memberhentikan langkahku. Kubalikkan badanku   dan sekarang aku menatap kamar kost kak Andi dari kejauhan sambil berdiam diri. Langit mulai menyala – nyala akibat guntur yang muncul secara bertubi – tubi tanpa mngeluarkan gelegar suaranya sedikitpun. Rintik hujan, mulai kurasa sedikit demi sedikit membasahi tubuhku. Seumur hidup, baru kali ini aku mengalami sebuah perubahan perasaan yang sangat drastis. Dari awalnya aku yang sangat bersemangat ingin segera menemui kak Andi sepulangnya dari Surabaya karena dorongan perasaan yang belum pasti juga kuyakini sebagai sebuah perasaan rindu, secara drastis tiba – tiba saja berubah menjadi sebuah perasaan yang sedikit mengena di hati. Saat ini diriku benar – benar merasa...galau.   

( 31 - 05 - 2015 )
ARIEF W.S
TERIMA KASIH 

Monday, May 11, 2015

CERBUNG HOW CAN BE PART 3

Siang ini memang tak sepanas biasanya. Agak – agak mendung cuacanya. Apakah sudah mendekati musim penghujan tanyaku dalam hati. Angin yang biasanya sepoi – sepoi kini sedikit berubah lebih kencang. Membawa serta partikel – partikel debu berhamburan tak karuan. Aku menutup hidungku dengan telapak tanganku sembari melangkah menyusuri jalanan aspal yang diapit oleh bentangan sawah yang luas. Aku biasa melalui rute persawahan ini jika sepulang sekolah. Memang ada jalan lain yang lebih dekat ke rumahku, namun suasana jalanan yang sunyi dan udara segar persawahan adalah alasannya aku menjadikannya rute favoritku.

Sayangnya kesunyian kali ini terganggu oleh sepasang siswa dan siswi yang sedang asyik berjalan berduaan di depanku. Selama sebulan ini setelah menapakkan kakiku di bangku SMP, baru kali ini aku menemui ada siswa lain yang juga melewati rute persawahan favoritku. Tapi aku yakin mereka melewati rute ini bukan karena mereka menyukai suasananya maupun alasan lainnya. Bagiku mereka hanya memanfaatkan suasana sepi rute ini untuk berduaan. Aku tidak mengenal mereka berdua, tapi aku tahu bahwa mereka adalah kakak seniorku kelas tiga di sekolah.

Umurku memang baru 13 tahun. Masih terlalu kecil untuk bisa merasakan apa yang mereka berdua rasakan saat ini didepanku. Apakah mereka berdua saling mencintai hingga saking eratya tangan mereka saling menggenggam ketika berjalan dan saling menebarkan senyum? Aku juga belum bisa menjawabnya dengan pasti. Yang kutahu apa itu cinta adalah di drama – drama Korea yang aku ikuti setiap malamnya. Tapi kebanyakan yang aku rasakan setelah menonton drama tersebut adalah aku malah jatuh cinta dengan tokoh lelakinya karena memang mereka tampan dan aku mencintai dalam artian sebatas mengidolai seorang tokoh. Untuk mencintai seseorang dengan sepenuh hati, aku belum pernah mengalaminya. Intinya karena aku belum pernah menyukai seseorang sekalipun. Jadi aku sengaja memelankan langkahku, mengamati dua kakak kelasku yang sedang berjalan mesra seakan memamerkan keromantisan mereka. Diam – diam mencari tahu letak magnet apa yang mampu menyatukan mereka seperti ini? Apakah pertemuan yang tak disengaja seperti di adegan drama – drama yang selama ini aku lihat? Kesamaan hobi? Pandangan pertama? Saat ini aku mengernyitkan mata untuk serius mencari tahu penyebabnya. Sayangnya bunyi kringgg!! Tiga kali bel sepeda dari belakang mengagetkan dan membuyarkan observasiku sehingga dengan geram aku menoleh ke belakang.
“Hei, daritadi aku lihat jalanmu seperti tikus pelan sekali. Apa kamu mengutit mereka berdua diam – diam dari belakang?” Ujar kak Andi sambil menghentikan kayuhannya ketika menaiki sepeda buatan Belanda model kuno milik Ayahku.

“Bukan urusan Pak Guru, “ Kataku dengan kasar, tapi kak Andi langsung menimpali, “ hei, panggil saja kak Andi seperti biasanya.  Tak usah memakai formalitas di luar sekolahan.”

“Oke, baiklah, “ kataku mengangguk patuh layaknya siswa di kelas. Seketika itu juga, entah darimana hembusan angin mendadak menjadi kencang. Mataku kemasukan debu, sehingga aku menguceknya beberapa kali dan menjadikan kelopak mataku basah seperti orang yang menangis.

“Ayo, naiklah, “ kata kak Andi sambil mendekatkan jok landasan tempat duduk belakang sepeda ke arahku. Kulihat kedepan, dua orang kakak kelasku juga mempercepat langkahnya untuk segera keluar dari area persawahan yang mengapit jalan panjang ini untuk segera sampai di desa seberang karena dirasa hembusan angin menjadi semakin tak beraturan. Mau tak mau aku menaiki sepeda, membonceng kak Andi dibelakang, karena jika memaksakanjalan kaki, kedua bola mataku ini bakalan menjadi lebih merah akibat terjangan debu yang menggeliat di udara.

“Kakak meminjam sepeda dari Ayah?” Kataku memulai pembicaraan saat diperjalanan.

“Iya, aku bangun kesiangan tadi Lili. Mungkin karena capek bersih – berih kemarin dan harus menyelesaikan laporan yang dikumpul di ruang kepala sekolah hari ini. Jadi kalau jalan kaki kurasa waktunya tak memadai,” jawabnya dengan pandangan mata berkonsentrasi ke depan.

“Oh iya kak, soal tadi....,” Kataku pelan dan seakan memohon.

“Soal tadi apa?” Tanya kak Andi penasaran dan sejenak menoleh ke arah mukaku yang memelas.

“Kejadian memalukan tadi saat aku tertidur di kelas dan mengigau keras – keras...tolong jangan diberitahukan tau ke Ayah ya..??”

“Hmmm....baiklah,”kata kak Andi pelan sambil berdehem. Mendengar itu aku senang karena kak Andi mau melakukan permintaanku.

Sesampainya di rumah aku langsung meloncat dari sepeda dan menuju halaman belakang. Kulihat Ratih, Mimit dan Ujang langsung berlari menuju ke arahku, seakan mereka sudah hafal dengan suara derap langkahku. Kupeluk mereka satu persatu. Kurasakan kerinduan mereka akan ketidakhadiran diriku meski hanya beberapa jam sehari saat kutinggal ke bersekolah. Tak lama kak Andi muncul dari belakang dengan menuntun sepeda kuno milik Ayahku.

“Lili, apa yang kamu lakukan?”

“Oh, kak Andi aku mau bermain bersama ayam – ayamku.”

Melihat kehadiran kak Andi, tensi si Ujang sepertinya sedang memanas. Rasanya si Ujang belum bisa melupakan kejadian perkelahian antara dirinya dengan kak Andi kemarin sore. Kulihat, tatapan Ujang menyorot tajam ke arah kak Andi. Begitu pula dengan Ratih dan Mimit yang sudah bersiap - siap dengan ancang – ancang mereka untuk menyerang. Melihat perilaku ayam – ayamku yang sedang naik darah, kak Andi sontak menelan ludah.

“Tenang – tenang...,” kataku sembari mengelus – elus kepala Ujang dengan lembut. “Dia sudah menjadi teman kita kuk.” Begitu mengatakan itu, reaksi Ujang berubah drastis, matanya mulai sayu dan tak menunjukkan ekspresi kemarahan lagi. Melihat perubahan pada Ujang, Ratih dan Mimit pun saling pandang tak percaya. Kuturunkan Ujang dari pelukanku, dan mereka bertiga berjalan menuju pinggiran sungai tempat biasanya kita bermain. Dan ketika kualihkan perhatianku ke kak Andi, kulihat dia hanya berdiri terpaku menatapku dengan pandangan aneh.

“Kenapa kak? Tanyaku kini yang dibuat penasaran dengan tingkah lakunya.

“Ah, tidak, hanya saja kenapa ayammu bisa sepatuh itu kepadamu. Aku hanya terkagum saja. Oh, ya kamu mau menyusul mereka bermain sampai sore seperti kemarin?” Tanya kak Andi dan aku menganggukkan kepala.

“Bukankah aku memberikan banyak pekerjaan rumah buat kelas kita? Dan besok harus dikumpulkan?”

“Ya, kak aku tahu, tapi......”. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku tidak suka Matematika, tapi rasanya tidak enak mengatakan hal itu kepada kak Andi yang kuliah di jurusan pendidikan matematika, dan sudah mau mengajar di kelasku. Namun rasa – rasanya kak Andi sudah paham dengan apa yang aku tahan untuk diutarakan dengan melihat sikapku seperti ini. Hal itu ditandai dengan ulangan mendadak yang diberikan oleh kak Andi siang tadi di kelas. Hanya aku saja yang hanya bisa menjawab 1 soal dari 10 soal matematika yang diujikan.

“Kalau kamu selalu tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, lalu bagaimana nilai PR matematikamu bisa bagus semua?” Tanya kak Andi. Yah tentu saja kak Andi mencurigaiku. Mungkin dia sudah melihat sejarah daftar nilai milik Bu Laksmi.

“Aku biasanya menyalin jawaban dari Isabell kak, “ Jelasku. Pastinya kak Andi tahu siapa Isabell teman sekelasku. Hanya dia hari ini yang mampu paling cepat mengumpulkan soal ujian matematika yang diadakan mndadak oleh kak Andi dengan kesemua jawabannya tiada satupun yang salah.

“Oh, jadi begitu, “ kata kak Andi sambil berjalan menuntun sepeda melewatiku. Kubalikkan badanku dan kuperhatikan kak Andi yang saat itu juga menoleh kepadaku sambil berkata, “ kamu boleh belajar denganku jika mau malam nanti.”

######

Begitulah, kedekatanku dengan kak Andi dimulai. Hari itu awalnya aku bimbang untuk memutuskan apakah ingin belajar dengan kak Andi atau tidak. Perlu waktu satu jam untuk memutuskannya. Bahkan ketika sudah didepan pintu kamarku untuk keluar menuju kamar kak Andi lengkap dengan membawa  semua buku dan alat tulis, aku mendadak kembali lagi duduk di kasur untuk mempertimbangkannya lagi. Sungguh sesuatu hal yang konyol. Akhirnya, jam 9 malam aku menggedor kamar kak Andi untuk memohon mengajariku matematika. Kak Andi memarahiku karena selarut itu baru meminta untuk diajari. Tapi, bagaimanapun kegiatan belajar bersama tetap berlangsung hingga pukul 12 malam.

Kak Andi kadang kesal ketika mengajariku. Sudah dijelaskan dengan cara ini dan itu, tetap saja aku masih susah untuk menangkapnya. Kak Andi sempat geleng – geleng kepala, dan menanyaiku kenapa aku bisa sebegini lambannya dalam berhitung.? Aku tidak tahu harus menjawab apa, dan memang beginilah aku. Hasil belajar bersama malam itu ada hasilnya juga. Dalam seumur hidupku dari semua pekerjaan rumah pelajaran matematika, baru kali ini aku bisa mengerjakan setengahnya. Itu berkat bantuan kak Andi.

Pagi harinya, ketika ingin berangkat ke sekolah, sebelumnya aku ingin menyapa Ujang, Ratih dan Mimit terlebih dahulu. Ketika sampai di kandang, kulihat kamar kak Andi masih tertutup. Yang benar saja batinku saat itu ketika pintu kamarnya kugedor, kudapati kak Andi baru bangun tidur dan rambutnya masih acak – acakkan. Aneh rasanya jika seorang murid malah membangunkan gurunya di pagi hari. Namun aku paham mengapa kak Andi bangun kesiangan. Itu karena kesalahanku datang terlalu larut untuk memintanya belajar bersama. Padahal setelah itu kak Andi masih harus mengerjakan laporan yang harus dikumpulkan setiap hari di sekolah. Ketika kak Andi terburu – buru mencuci muka di kamar mandi, aku berlari ke gudang dengan kembali sambil menuntun sepeda kuno Ayah dan mengatakan pada kak Andi bahwa lebih baik berangkat berboncengan berdua agar dapat mengejar waktu. Dan mulai saat itu, setiap malam kami belajar bersama dan setiap paginya kami berangkat bersama pula berboncengan sepeda Ayah menuju sekolah.

Kedekatanku saat itu dengan kak Andi memberikan pemahamanku akan sifatnya. Aku jadi mengerti bahwa kak Andi sebenarnya orang yang sangat baik meski kadang dia menjadi garang jika menemui seseorang yang tak sejalan dengan pikirannya. Namun dia tak pendendam, dan anehnya selalu minta maaf kepada orang yang pernah membuatnya marah. Sama halnya ketika dia meminta maaf kepadaku ketika dirinya berbicara kasar karena dibuat marah oleh ayamku bernama Ujang. Harusnya dia tak perlu meminta maaf karena akulah yang salah selalu mengajak Ujang berman di bukan tempat yang semestinya.

Selain itu, aku juga jadi mengetahui bahwa kak Andi sangat suka dengan madu. Aku melihat banyak botol madu dikamarnya saat pertama kali mengantarkan makanan pada malam dimana kak Andi pertama kali menempati kost. Ternyata dirinya tak bisa lepas dari apa yang namanya cairan madu. Sejak kecil kak Andi sudah ketagihan dengan madu. Mau minum susu, teh, dia pantang menggunakan gula, dia selalu menggunakan madu sebagai pemanis. Pernah suatu malam ketika belajar bersama aku dibuatkan kak Andi sebuah roti tawar dengan olesan madu diatasnya. Rasanya sungguh enak dilidah. Ketika kak Andi menyakan apa kesukaannku, aku menjawab aku suka rumput laut kering. Anehnya kak Andi belum pernah merasakan apa itu rumput laut kering, jadi keesokan harinya kubawakan rumput laut Tokenoi dari toko langgananku. Ketika dia mencobanya, dia langsung memuntahkannya. Katanya rasanya tidak enak dan seperti plastik di lidah. Aku bawel saat itu ketika makanan kesukaanku dicemooh begitu saja. Tanpa sadar perilaku kami seperti kakak dan adik saja.

Selama ini aku tidak pernah merasakan kebahagiaan yang luar biasa jika bermain dengan teman – teman seumuranku. Rasa bahagia yang kudapat tak benar – benar bisa menandingi rasa bahagiaku jika bermain bersama Ujang, Rara dan Mimit. Namun ketika bersama kak Andi, entah mengapa jika bersamanya rasa bahagia yang kudapat bisa menyamai apa yang kurasakan ketika bermain dengan Ujang, Rara serta Mimit, dan kalau dipikir – pikir, mungkin lebih dan tak bisa tergambarkan dengan pasti.

Aku jadi teringat sewaktu sepulang sekolah melewati rute favoritku dimana ada dua orang kakak kelas yang dengan mesranya berjalan berduaan. Saat itu aku belum bisa mencari tahu apa penyebab mereka berdua bisa saling menyukai seperti itu bagaikan magnet yang disatukan. Tapi sekarang aku mengerti bahwa mereka disatukan karena kebersamaan yang terjaga. Kebersamaan itulah yang membuat magnet yang mempersatukan mereka berdua. Beruntung mereka berdua mempunyai umur yang sama, sehingga tak ada beban ketika menyatakan perasaan masing – masing. Sedangkan aku, ketika menyukai kak Andi, aku hanya menganggap rasa suka ini sebatas kakak dan adik saja meskipun sebetulnya dari lubuk hatiku yang terdalam aku menentang derajat batasan itu. Yang aku mau tidak ada batasan yang membelennggu perasaan ini. Di saat beberapa rumus matematika mampu aku kuasai untuk mengerjakan soal – soal dan pekerjaan rumah. Muncullah persoalan baru yang mungkin akan sulit ditentukan rumusnya. Yakni perasaanku mengenai kak Andi yang rumusnya tentu saja tak akan mudah ditemukan dalam satu malam saja untuk mengetahui apakah lebih baik jawabannya menyukainya dalam batasan sebagai kakak atau malah mengarah pada jawaban sebagai perasaan...cinta. 

ARIEF W.S ( 11 - 05 - 2015 )
TERIMA KASIH