Siang
ini memang tak sepanas biasanya. Agak – agak mendung cuacanya. Apakah sudah
mendekati musim penghujan tanyaku dalam hati. Angin yang biasanya sepoi – sepoi
kini sedikit berubah lebih kencang. Membawa serta partikel – partikel debu
berhamburan tak karuan. Aku menutup hidungku dengan telapak tanganku sembari
melangkah menyusuri jalanan aspal yang diapit oleh bentangan sawah yang luas.
Aku biasa melalui rute persawahan ini jika sepulang sekolah. Memang ada jalan
lain yang lebih dekat ke rumahku, namun suasana jalanan yang sunyi dan udara
segar persawahan adalah alasannya aku menjadikannya rute favoritku.
Sayangnya
kesunyian kali ini terganggu oleh sepasang siswa dan siswi yang sedang asyik
berjalan berduaan di depanku. Selama sebulan ini setelah menapakkan kakiku di
bangku SMP, baru kali ini aku menemui ada siswa lain yang juga melewati rute
persawahan favoritku. Tapi aku yakin mereka melewati rute ini bukan karena
mereka menyukai suasananya maupun alasan lainnya. Bagiku mereka hanya
memanfaatkan suasana sepi rute ini untuk berduaan. Aku tidak mengenal mereka
berdua, tapi aku tahu bahwa mereka adalah kakak seniorku kelas tiga di sekolah.
Umurku
memang baru 13 tahun. Masih terlalu kecil untuk bisa merasakan apa yang mereka
berdua rasakan saat ini didepanku. Apakah mereka berdua saling mencintai hingga
saking eratya tangan mereka saling menggenggam ketika berjalan dan saling
menebarkan senyum? Aku juga belum bisa menjawabnya dengan pasti. Yang kutahu
apa itu cinta adalah di drama – drama Korea yang aku ikuti setiap malamnya. Tapi
kebanyakan yang aku rasakan setelah menonton drama tersebut adalah aku malah
jatuh cinta dengan tokoh lelakinya karena memang mereka tampan dan aku
mencintai dalam artian sebatas mengidolai seorang tokoh. Untuk mencintai
seseorang dengan sepenuh hati, aku belum pernah mengalaminya. Intinya karena
aku belum pernah menyukai seseorang sekalipun. Jadi aku sengaja memelankan
langkahku, mengamati dua kakak kelasku yang sedang berjalan mesra seakan
memamerkan keromantisan mereka. Diam – diam mencari tahu letak magnet apa yang
mampu menyatukan mereka seperti ini? Apakah pertemuan yang tak disengaja
seperti di adegan drama – drama yang selama ini aku lihat? Kesamaan hobi?
Pandangan pertama? Saat ini aku mengernyitkan mata untuk serius mencari tahu penyebabnya.
Sayangnya bunyi kringgg!! Tiga kali bel sepeda dari belakang mengagetkan dan
membuyarkan observasiku sehingga dengan geram aku menoleh ke belakang.
“Hei,
daritadi aku lihat jalanmu seperti tikus pelan sekali. Apa kamu mengutit mereka
berdua diam – diam dari belakang?” Ujar kak Andi sambil menghentikan kayuhannya
ketika menaiki sepeda buatan Belanda model kuno milik Ayahku.
“Bukan
urusan Pak Guru, “ Kataku dengan kasar, tapi kak Andi langsung menimpali, “
hei, panggil saja kak Andi seperti biasanya.
Tak usah memakai formalitas di luar sekolahan.”
“Oke,
baiklah, “ kataku mengangguk patuh layaknya siswa di kelas. Seketika itu juga,
entah darimana hembusan angin mendadak menjadi kencang. Mataku kemasukan debu,
sehingga aku menguceknya beberapa kali dan menjadikan kelopak mataku basah
seperti orang yang menangis.
“Ayo,
naiklah, “ kata kak Andi sambil
mendekatkan jok landasan tempat duduk belakang sepeda ke arahku. Kulihat
kedepan, dua orang kakak kelasku juga mempercepat langkahnya untuk segera
keluar dari area persawahan yang mengapit jalan panjang ini untuk segera sampai
di desa seberang karena dirasa hembusan angin menjadi semakin tak beraturan.
Mau tak mau aku menaiki sepeda, membonceng kak Andi dibelakang, karena jika
memaksakanjalan kaki, kedua bola mataku ini bakalan menjadi lebih merah akibat
terjangan debu yang menggeliat di udara.
“Kakak
meminjam sepeda dari Ayah?” Kataku memulai pembicaraan saat diperjalanan.
“Iya,
aku bangun kesiangan tadi Lili. Mungkin karena capek bersih – berih kemarin dan
harus menyelesaikan laporan yang dikumpul di ruang kepala sekolah hari ini.
Jadi kalau jalan kaki kurasa waktunya tak memadai,” jawabnya dengan pandangan
mata berkonsentrasi ke depan.
“Oh
iya kak, soal tadi....,” Kataku pelan dan seakan memohon.
“Soal
tadi apa?” Tanya kak Andi penasaran dan sejenak menoleh ke arah mukaku yang
memelas.
“Kejadian
memalukan tadi saat aku tertidur di kelas dan mengigau keras – keras...tolong
jangan diberitahukan tau ke Ayah ya..??”
“Hmmm....baiklah,”kata
kak Andi pelan sambil berdehem. Mendengar itu aku senang karena kak Andi mau
melakukan permintaanku.
Sesampainya
di rumah aku langsung meloncat dari sepeda dan menuju halaman belakang. Kulihat
Ratih, Mimit dan Ujang langsung berlari menuju ke arahku, seakan mereka sudah
hafal dengan suara derap langkahku. Kupeluk mereka satu persatu. Kurasakan
kerinduan mereka akan ketidakhadiran diriku meski hanya beberapa jam sehari
saat kutinggal ke bersekolah. Tak lama kak Andi muncul dari belakang dengan
menuntun sepeda kuno milik Ayahku.
“Lili,
apa yang kamu lakukan?”
“Oh,
kak Andi aku mau bermain bersama ayam – ayamku.”
Melihat
kehadiran kak Andi, tensi si Ujang sepertinya sedang memanas. Rasanya si Ujang
belum bisa melupakan kejadian perkelahian antara dirinya dengan kak Andi
kemarin sore. Kulihat, tatapan Ujang menyorot tajam ke arah kak Andi. Begitu
pula dengan Ratih dan Mimit yang sudah bersiap - siap dengan ancang – ancang
mereka untuk menyerang. Melihat perilaku ayam – ayamku yang sedang naik darah,
kak Andi sontak menelan ludah.
“Tenang
– tenang...,” kataku sembari mengelus – elus kepala Ujang dengan lembut. “Dia
sudah menjadi teman kita kuk.” Begitu mengatakan itu, reaksi Ujang berubah
drastis, matanya mulai sayu dan tak menunjukkan ekspresi kemarahan lagi.
Melihat perubahan pada Ujang, Ratih dan Mimit pun saling pandang tak percaya.
Kuturunkan Ujang dari pelukanku, dan mereka bertiga berjalan menuju pinggiran
sungai tempat biasanya kita bermain. Dan ketika kualihkan perhatianku ke kak
Andi, kulihat dia hanya berdiri terpaku menatapku dengan pandangan aneh.
“Kenapa
kak? Tanyaku kini yang dibuat penasaran dengan tingkah lakunya.
“Ah,
tidak, hanya saja kenapa ayammu bisa sepatuh itu kepadamu. Aku hanya terkagum
saja. Oh, ya kamu mau menyusul mereka bermain sampai sore seperti kemarin?”
Tanya kak Andi dan aku menganggukkan kepala.
“Bukankah
aku memberikan banyak pekerjaan rumah buat kelas kita? Dan besok harus
dikumpulkan?”
“Ya,
kak aku tahu, tapi......”. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku tidak suka
Matematika, tapi rasanya tidak enak mengatakan hal itu kepada kak Andi yang
kuliah di jurusan pendidikan matematika, dan sudah mau mengajar di kelasku.
Namun rasa – rasanya kak Andi sudah paham dengan apa yang aku tahan untuk
diutarakan dengan melihat sikapku seperti ini. Hal itu ditandai dengan ulangan
mendadak yang diberikan oleh kak Andi siang tadi di kelas. Hanya aku saja yang
hanya bisa menjawab 1 soal dari 10 soal matematika yang diujikan.
“Kalau
kamu selalu tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, lalu bagaimana nilai PR
matematikamu bisa bagus semua?” Tanya kak Andi. Yah tentu saja kak Andi
mencurigaiku. Mungkin dia sudah melihat sejarah daftar nilai milik Bu Laksmi.
“Aku
biasanya menyalin jawaban dari Isabell kak, “ Jelasku. Pastinya kak Andi tahu
siapa Isabell teman sekelasku. Hanya dia hari ini yang mampu paling cepat
mengumpulkan soal ujian matematika yang diadakan mndadak oleh kak Andi dengan
kesemua jawabannya tiada satupun yang salah.
“Oh,
jadi begitu, “ kata kak Andi sambil berjalan menuntun sepeda melewatiku.
Kubalikkan badanku dan kuperhatikan kak Andi yang saat itu juga menoleh
kepadaku sambil berkata, “ kamu boleh belajar denganku jika mau malam nanti.”
######
Begitulah,
kedekatanku dengan kak Andi dimulai. Hari itu awalnya aku bimbang untuk
memutuskan apakah ingin belajar dengan kak Andi atau tidak. Perlu waktu satu
jam untuk memutuskannya. Bahkan ketika sudah didepan pintu kamarku untuk keluar
menuju kamar kak Andi lengkap dengan membawa
semua buku dan alat tulis, aku mendadak kembali lagi duduk di kasur
untuk mempertimbangkannya lagi. Sungguh sesuatu hal yang konyol. Akhirnya, jam
9 malam aku menggedor kamar kak Andi untuk memohon mengajariku matematika. Kak
Andi memarahiku karena selarut itu baru meminta untuk diajari. Tapi,
bagaimanapun kegiatan belajar bersama tetap berlangsung hingga pukul 12 malam.
Kak
Andi kadang kesal ketika mengajariku. Sudah dijelaskan dengan cara ini dan itu,
tetap saja aku masih susah untuk menangkapnya. Kak Andi sempat geleng – geleng
kepala, dan menanyaiku kenapa aku bisa sebegini lambannya dalam berhitung.? Aku
tidak tahu harus menjawab apa, dan memang beginilah aku. Hasil belajar bersama
malam itu ada hasilnya juga. Dalam seumur hidupku dari semua pekerjaan rumah
pelajaran matematika, baru kali ini aku bisa mengerjakan setengahnya. Itu
berkat bantuan kak Andi.
Pagi
harinya, ketika ingin berangkat ke sekolah, sebelumnya aku ingin menyapa Ujang,
Ratih dan Mimit terlebih dahulu. Ketika sampai di kandang, kulihat kamar kak
Andi masih tertutup. Yang benar saja batinku saat itu ketika pintu kamarnya kugedor,
kudapati kak Andi baru bangun tidur dan rambutnya masih acak – acakkan. Aneh
rasanya jika seorang murid malah membangunkan gurunya di pagi hari. Namun aku
paham mengapa kak Andi bangun kesiangan. Itu karena kesalahanku datang terlalu
larut untuk memintanya belajar bersama. Padahal setelah itu kak Andi masih
harus mengerjakan laporan yang harus dikumpulkan setiap hari di sekolah. Ketika
kak Andi terburu – buru mencuci muka di kamar mandi, aku berlari ke gudang
dengan kembali sambil menuntun sepeda kuno Ayah dan mengatakan pada kak Andi
bahwa lebih baik berangkat berboncengan berdua agar dapat mengejar waktu. Dan
mulai saat itu, setiap malam kami belajar bersama dan setiap paginya kami
berangkat bersama pula berboncengan sepeda Ayah menuju sekolah.
Kedekatanku
saat itu dengan kak Andi memberikan pemahamanku akan sifatnya. Aku jadi
mengerti bahwa kak Andi sebenarnya orang yang sangat baik meski kadang dia
menjadi garang jika menemui seseorang yang tak sejalan dengan pikirannya. Namun
dia tak pendendam, dan anehnya selalu minta maaf kepada orang yang pernah
membuatnya marah. Sama halnya ketika dia meminta maaf kepadaku ketika dirinya berbicara
kasar karena dibuat marah oleh ayamku bernama Ujang. Harusnya dia tak perlu
meminta maaf karena akulah yang salah selalu mengajak Ujang berman di bukan
tempat yang semestinya.
Selain
itu, aku juga jadi mengetahui bahwa kak Andi sangat suka dengan madu. Aku
melihat banyak botol madu dikamarnya saat pertama kali mengantarkan makanan
pada malam dimana kak Andi pertama kali menempati kost. Ternyata dirinya tak
bisa lepas dari apa yang namanya cairan madu. Sejak kecil kak Andi sudah
ketagihan dengan madu. Mau minum susu, teh, dia pantang menggunakan gula, dia
selalu menggunakan madu sebagai pemanis. Pernah suatu malam ketika belajar
bersama aku dibuatkan kak Andi sebuah roti tawar dengan olesan madu diatasnya.
Rasanya sungguh enak dilidah. Ketika kak Andi menyakan apa kesukaannku, aku
menjawab aku suka rumput laut kering. Anehnya kak Andi belum pernah merasakan
apa itu rumput laut kering, jadi keesokan harinya kubawakan rumput laut Tokenoi
dari toko langgananku. Ketika dia mencobanya, dia langsung memuntahkannya.
Katanya rasanya tidak enak dan seperti plastik di lidah. Aku bawel saat itu
ketika makanan kesukaanku dicemooh begitu saja. Tanpa sadar perilaku kami
seperti kakak dan adik saja.
Selama
ini aku tidak pernah merasakan kebahagiaan yang luar biasa jika bermain dengan
teman – teman seumuranku. Rasa bahagia yang kudapat tak benar – benar bisa
menandingi rasa bahagiaku jika bermain bersama Ujang, Rara dan Mimit. Namun
ketika bersama kak Andi, entah mengapa jika bersamanya rasa bahagia yang kudapat
bisa menyamai apa yang kurasakan ketika bermain dengan Ujang, Rara serta Mimit,
dan kalau dipikir – pikir, mungkin lebih dan tak bisa tergambarkan dengan
pasti.
Aku
jadi teringat sewaktu sepulang sekolah melewati rute favoritku dimana ada dua
orang kakak kelas yang dengan mesranya berjalan berduaan. Saat itu aku belum
bisa mencari tahu apa penyebab mereka berdua bisa saling menyukai seperti itu
bagaikan magnet yang disatukan. Tapi sekarang aku mengerti bahwa mereka
disatukan karena kebersamaan yang terjaga. Kebersamaan itulah yang membuat
magnet yang mempersatukan mereka berdua. Beruntung mereka berdua mempunyai umur
yang sama, sehingga tak ada beban ketika menyatakan perasaan masing – masing.
Sedangkan aku, ketika menyukai kak Andi, aku hanya menganggap rasa suka ini
sebatas kakak dan adik saja meskipun sebetulnya dari lubuk hatiku yang terdalam
aku menentang derajat batasan itu. Yang aku mau tidak ada batasan yang
membelennggu perasaan ini. Di saat beberapa rumus matematika mampu aku kuasai
untuk mengerjakan soal – soal dan pekerjaan rumah. Muncullah persoalan baru
yang mungkin akan sulit ditentukan rumusnya. Yakni perasaanku mengenai kak Andi
yang rumusnya tentu saja tak akan mudah ditemukan dalam satu malam saja untuk
mengetahui apakah lebih baik jawabannya menyukainya dalam batasan sebagai kakak
atau malah mengarah pada jawaban sebagai perasaan...cinta.
ARIEF W.S ( 11 - 05 - 2015 )
TERIMA KASIH
Keren mas cerpennya. terus berkarya dengan cerpennya mas :)
ReplyDeleteWah kak Andinya apa gak tahu ya ada yang naksir ini hehe
ReplyDeletemakin panjang saja ceritanya sekarang ini lanjutan kemarin ya
waa tokohnya baru 13 tahun, masih unyuk unyuk dong ya :D
ReplyDeletekok kayak aku ya, setiap kali nonoton drama korea jadi jatuh cinta dengan pemeran cowoknya kwkwkwkw
ReplyDeleteObat Herbal Scabies @ Makasih yawh Bang dah nyempetin berkunjung :)
ReplyDeleteDedaunan Yogya @ Iya ini lanjutan yang kemarin Mbak Suzy. Part lanjutannya masih diotak, jadi kak ANdi sadar atau gak ada yang nyukain masih rahasia :)
G. Pratiwi @ Hehe Tiwi aja yang udah merried masih unyu2 kuk :D
Amri Evianti @ SSttttt entar ada yang cemburu loh kamu suka ma tokoh Dramanya, hehe :D
$$ Makasih Semua Yang Udah Mampir $$
bagus nih ceritanya :)
ReplyDeleteObat Herbal @ Terima kasih mas :)
ReplyDeletesemangat menulis kawan, semangat ngeblog :)
ReplyDeleteIni kak Andinya sengaja kali ya, bikin anak kecil jadi jatuh hati sama dia
ReplyDeleteckckc
keren bang ceritanya, penulisan kalimatnya juga bagus walau agak panjang ya paragrafnya. Nggak bosen juga sih bacanya
Keren ceritanya mas.
ReplyDeleteDalam diamnya, Lili mengagumi seseorang :) dan itu kak Andi. Orang yg ada dekat disekitarnya. aaaa bagus deh.
Lanjutin lagi dong,
penasaran gimana endingnya nanti :D hehee
keren ceritanya :)
ReplyDeleteTutorial Software @ Makasih dah mampir, semangat juga buat abang yawh :)
ReplyDeleteAra Anggara @ hehe...ya sebetulnya kak Andinya gak ada niat buat bikin suka atau gimana, namanya Lili juga masih anak kecil yang polos dan belum mengenal apa itu cinta. Maap lo kepanjangan paragrafnya mas Anggara, emang apa yang ada di otak kudu dicurahkan semuanya sih biar plong. Makasih loh dah mau baca mas :)
Rahayu Wulandari @ Eh, makasih loh Wulan dah mau mampir baca, syukur kalau ternyata kamu suka ma ceritanya :) Iya bakalan aku lanjutin, tapi maaf kalau misal agak lama, soalnya rada - rada sibuk juga hihi :) Iya, nanti pasti aku bikin endingnya yang bagus pokoknya :)
Obat Kanker @ Makasih Mas :)
mau komen dulu ahh baru deh baca hehehehe
ReplyDeleteHihihi.....bener loh mbak Ifah abis komen dibaca ceritanya ..he
Delete