Tuesday, October 27, 2015

CERPEN : CONFESSIONS OF BROKEN HEART

Rambutnya lurus panjang hampir menyentuh pinggang. Ketika kepalanya menoleh, gerai lembut helaian rambutnya tanpa didahului oleh aba – aba pun dengan sigapnya mengikuti tolehan arah kepala wanita itu. Dengan memakai rok berukuran sebatas lutut, tungkai indahnya kelihatan sangat menawan, mencuri pandang banyak mata lelaki yang berseliweran di sekelilingnya. Dengan tinggi diatas 170 cm, ukuran tubuhnya kelihatan sangat menonjol diantara para pengunjung mall. Karena memakai sepatu high heels, dia menepakkan satu kakinya dengan hati - hati ke sebuah tangga eskalator yang berjalan otomatis dan disusul dengan kaki satunya ketika merasa pijakan kaki pendahulunya sudah mantab. Tangan kirinya, sembari menenteng tas plastik berisi beberapa botol kaleng minuman bersoda, jarinya pun berpegang erat pada gagang tangga eskalator. Sementara tangan satunya memegangi erat tas pinggang yang bergelayutan seperti ayunan pada bahu kanannya. Sebelum landasan eskalator yang dipijaknya menyambangi lantai atas, dia menoleh pada jam digital yang dikenakan pada pergelangan tangan sebelah kanan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 18.30.

Sebuah tempat duduk didesain seperti batang pohon dengan panjang kurang lebih 2 meter dilapisi sofa bermotif daun terletak di depan rentetan ruko – ruko pada lantai 3 sebuah mall. Kurang lebih ada 10 buah kursi dalam satu lajur. Memang penempatan kursi – kursi itu sengaja dialokasikan di depan banyaknya ruko dengan tujuan supaya pengunjung mall beristirahat seraya disajikan aneka barang belanjaan yang bertebaran di kaca – kaca etalase di depannya supaya menarik kemungkinan minat pengunjung untuk membelinya, suatu letak kursi yang sedemikian rupa dengan dilandasi sebuah strategi marketing.

Menginjak lantai tiga, dan terbebas dari tangga eskalator, pandangan wanita itu langsung tertuju pada deretan kursi – kursi umum untuk pengunjung berdesain batang pohon. Masih tetap sama seperti 6 tahun yang lalu, tiada perubahan, batinnya dalam hati dan kemudian dia melangkah menghampiri salah satu kursi yang kosong.

Ketika menduduki kursi, dan menaruh tas plastik berisi minuman disampingnya, pandangannya terpaku pada salah satu etalase ruko didepannya. Oh, dimana stand assesoris wanitanya? Batinnya menanyakan ketiadaan toko assesoris wanita karena yang terpampang di hadapannya sekarang ini adalah toko alat – alat kesehatan. Namun itu tak jadi masalah baginya, wajar karena seiring waktu berjalan, segalanya akan berubah. Dia hanya bersyukur bahwa kursi – kursi umum tempatnya duduk saat ini masih tidak berubah seperti dahulu kala.

Bunyi desahan seperti ular tercipta saat wanita itu membuka penutup minuman kaleng bersoda yang dia ambil dari dalam kantong plastik belanjaannya. Diteguknya beberapa kali minuman kaleng yang kini melekat pada moncong bibirnya yang masih merona karena lipstik dan tenggorokannya kini dibasahi oleh air berkarbonasi, menyebabkan sendawa lega setelahnya. Dia mendadak tersentak melihat tanda pengenal identitasnya masih menempel di jas pakaiannya di bagian dada sebelah kanan. Linda Dwingingsih, sebuah nama yang tertera pada identitas dirinya dan sebuah informasi jabatan sebagai teller bank swasta. Mengetahui itu Linda mencopot identitas pengenalnya dan memasukkannya ke dalam tas yang masih bergelayutan di bahu kanannya.

Kurang lebih satu jam, plastik belanjaan yang berada di sebelahnya kini seolah sudah menjadi tempat sampah yang menampung 4 buah kaleng minuman bersoda yang sudah tak berisi. Satu kaleng masih ditangan Linda digenggam oleh kedua telapak tangannya. Sebelum tegukan terakhir, dirinya memandang tajam ke arah toko alat – alat kesehatan yang berada didepannya. Namun dia mengurungkan untuk meminum habis beberapa teguk terakhir air soda kaleng dalam genggamannya. Perutnya menjadi panas setelah menghabiskan 4 buah kaleng minuman soda sebelumnya, dia merasa sudah tak kuat lagi untuk minum. Mendadak saja emosinya membuncah, tanpa sadar dia meremas erat kaleng dengan kedua telapak tangannya seolah kaleng itu adalah seekor mangsa yang dililit erat oleh seekor ular anaconda.

Linda kembali melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 19.30. Tanpa sadar dirinya sudah menghabiskan satu jam lebih hanyut dalam lamunan sambil menghabiskan hampir 5 buah kaleng minuman bersoda. Dia kembali bersendawa, kali ini suara sendawanya agak keras, hampir tak bisa ditahan. Sesuatu gejolak seperti gelembung - gelembung oksigen reaksi minuman berkarbonasi dalam tubuhnya memaksa untuk keluar dari tenggorokannya, menyebabkan kontraksi hebat di dadanya dan menjalar ke rongga mulutnya dan akhirnya menghasilkan suara sendawa parau yang hebat. Tidak ada orang yang lewat lalu – lalang didepannya memperdulikan bunyi sendawa keras yang memalukan itu. Entah kenapa perasaannya menjadi lega setelahnya. Dia memasukkan botol minuman soda yang bentuk kalengnya sudah terkoyak akibat remasan kedua telapak tangannya ke dalam plastik disampingnya, mengikat kedua ujungnya sehingga menimbulkan bunyi kemresek layaknya suara radio yang kehilangan frekuensinya dan membuang plastik berisi 5 botol kaleng itu ke dalam bak sampah tak jauh dari tempatnya duduk. Penutup sampah bertuliskan non – organik bergoyang – goyang seperti ayunan setelah buntalan plastik berisi kaleng minuman itu dimasukkan ke dalam oleh Linda.

Ketika kembali beranjak duduk, Linda mengeluarkan smartphone-nya dari dalam tas. Dari menu utama, dia membuka gallery, dan memilih salah satu folder dilabeli dengan judul My Heart Beat. Ada sekitar 1000 an foto lebih di dalam folder tersebut. Linda menggeser – geserkan jemarinya ke atas dan ke bawah di touchscreen layar smartphone-nya seolah memilah – milah salah satu foto yang baginya spesial. Ketika tangannya berhenti memilah, jarinya menekan salah satu foto. Setelah di klik, ukuran thumbnail foto tersebut membesar. Disitu terlihat dirinya berada pada sebuah pantai berdua dengan seorang lelaki. Dengan berlatar kondisi matahari terbenam dan posisi mereka berdua bergandengan tangan membelakangi pantai diiringi suasana sunset yang begitu indah serta tangan mereka masing – masing menggenggam sebuah terompet, maka bisa dijelaskan bahwa dalam foto itu Linda menghabiskan malam tahun baru bersama kekasihnya. Entah kapan tepatnya momen tersebut, namun bisa ditebak 1 atau 2 tahun yang lalu sebab dalam poto tersebut ukuran rambut Linda belum sepanjang sekarang ini.

Tak puas hanya dengan memandangi satu poto, Linda kembali memilah – milah banyaknya poto dalam gallery tersebut dan kembali menekan salah satu yang dianggapnya mempunyai makna khusus. Kali ini, foto yang ditampilakan adalah ketika dirinya berada dalam sebuah kamar rumah sakit. Dalam balutan sebuah infus yang melekat di pergelangan tangannya, memakai baju pasien, dan bersandar pada dua buah bantal yang disusun dibelakang kepalanya yang membuat posisinya agak tegak, dirinya tersenyum manis, disampingnya, terduduk seorang lelaki yang tidak berbeda dengan yang menemaninya saat perayaan malam tahun baru di pantai. Hanya saja wajah lelaki itu terlihat lebih muda, sama halnya dengan Linda. Mungkin poto ini diambil 3 sampai 4 tahun yang lalu dimana posisi mereka berdua saat itu sedang menjadi seorang mahasiswa.

Tanpa disadari, waktu sudah menunjukkan pukul  20.30. Aktivitas yang dilakukan Linda sedari tadi hanyalah memilah – milah foto, mengamatinya dan memutar ulang memori yang tersimpan dalam foto tersebut. Hingga pada posisi paling buncit pada gallery foto tersebut, ketika Linda membukanya, terpampang sebuah gambar bando bermotif tokoh kartun Mickey Mouse tergeletak di sebuah kursi yang tak lain adalah kursi yang didudukinya saat ini. Matanya mulai berkaca saat memandangi foto tersebut. Mendadak, imajinasinya terbawa ke memory 6 tahun yang lalu. Tiba – tiba saja, rambutnya menjadi pendek hanya dibawah batas kupingnya. Badannya menjadi lebih kurus namun tetap terjaga kemolekannya. Tubuhnya saat ini dibalut dengan seragam anak Sekolah Menengah Atas. Saat itu,  Linda terduduk dengan posisi wajah cemberut. Karena tinggi tubuhnya belum setinggi saat ini, kakinya masih menggantung saat dirinya duduk dan kedua buah tungkai kakinya yang saat itu tak kalah indah dengan saat ini tak mau berhenti bergerak manju mundur menggambarkan jelas kekesalannya akan sesuatu.

Mengikuti sebuah kontes modelling tingkat Kabupaten bertema Disney, Linda sangat sebal ketika mendatangi salah satu ruko assesoris di mall langganannya ketika mendapati bando berkonsep Mickey Mouse incarannya sudah ludes hari itu juga. Padahal, jauh hari Linda sudah memesan baju rancangannya sendiri berkonsep Mickey Mouse dan hanya bando itulah satu – satunya yang ideal dengan rancangan kostum pesanannya untuk dibawa tampil diatas catwalk. Linda tidak tahu lagi harus bagaimana saat itu mengatasi kefrustasiannya. Hingga seseorang yang duduk disampingnya tiba – tiba saja mengeluh kesahkan perilaku Linda yang tak bisa  diam menggerak – gerakkan kakinya ketika gelisah.

“Hei, bisakah kau diamkan kakimu itu..?” Desah lelaki disamping Linda sambil mengamati kaki Linda yang saat itu juga berhenti bergerak layaknya roda yang berhenti berputar ketika di rem mendadak.

“Apa urusanmu bilang begitu..,” gertak Linda memandangi lelaki disampingnya. “Aku sedang sebal lagian kau tahu!!”

“Yah..dan aku sedang patah hati disini,” tukas lelaki itu. “ Dan aku terganggu dengan perilaku anehmu itu menggerak – gerakkan kaki seperti laba – laba saja”

Linda terdiam sejenak. Sepertinya dia sedang terhenyak mengetahui lelaki disampingnya sedang patah hati. Bagaimana rasanya patah hati itu Linda tidak benar – benar tahu. Dia belum pernah mempunyai pacar sebelumnya. Hanya saja, masalah yang menimpa lelaki di sampingnya yang sepertinya juga seumuran dengan dirinya menarik minatnya terhadap sesuatu yang baru seperti patah hati.

“Emmhh...kamu dicampakkan, diselingkuhi atau bagaimana...”Tanya Linda dengan penuh kehati – hatian karena dia sadar sudah seharusnya tak ikut campur urusan hati seseorang namun bagaimanapun pertanyaan itu terceplos begitu saja dari mulutnya. Linda agak was – was kalau pertanyaannya malah membuat lelaki disampingnya semakin tidak enak perasaannya karena si lelaki tak langsung menjawab. Namun tiba – tiba saja lelaki itu menjelaskan semuanya secara detail, bahwa dia ingin memberikan surprise kepada kekasihnya yang berulang tahun. Jadi dia membelikan kado pada ulang tahunnya di mall ini karena tahu pacarnya akan datang berbelanja bersama ibunya hari ini. Namun ternayata itu hanya alasan saja ketika lelaki itu mengetahui bahwa pacarnya jalan – jalan ke mall bukan berbelanja bersama ibunya melainkan jalan dengan lelaki lain satu sekolahannya.

Lelaki itu kemudian mengeluarkan sebuah kotak persegi yang sudah dibalut dengan kertas kado dari dalam tasnya. Memutar – mutar dengan jemarinya sambil memandanginya dengan tatapan nanar. Langsung tiba – tiba saja lelaki itu melemparkan bingkisan kado tersebut ke arah Linda, dan seperti penjaga gawang, Linda dengan sigapnya menangkap bingkisan kado tersebut dengan rasa terkejut.

“Uppss...apa – apaan ini???” Ketus Linda sembari memegang erat bingkisan kado yang baru saja meloncat dan hinggap di tangannya seperti kodok.

“Ambil saja, itu sudah tak berarti lagi bagiku,” jelas lelaki itu dan langsung saja dia berdiri, membopong tas punggungnya, meninggalkan Linda pergi begitu saja.

Suatu kebetulan atau bukan, setelah Linda membuka bingkisan tersebut, ternyata di dalamnya adalah sebuah bando bermotif Mickey Mouse yang dia inginkan. Linda bingung bagaimana menggambarkan perasaan bahagianya saat itu. Dia mendapatkan bando yang diinginkan namun dari seseorang yang sedang mengalami patah hati. Linda langsung memotret bando tersebut dengan kamera handphone-nya, sebagai momen ajaib dalam hidupnya.

Dalam bingkisan kado tersebut terselip sebuah surat yang berisikan undangan makan malam untuk merayakan ulang tahun sang pacar. Bagaimanapun, Linda ingin mengucapkan terima kasih karena pertemuan tak sengajanya dengan lelaki itu membantunya mendapatkan bando yang dia inginkan untuk kontes. Maka, sepulang dari mall, Linda langsung menghampiri alamat restoran yang dibooking lelaki tadi untuk sang pacar. Disana kepada pusat pelayanan dia menanyakan siapa identitas pembooking tempat dinner pada surat undangan itu dan akhirnya mendapatkan nomer handphone lelaki tersebut. Ketika menerima telepon dari Linda awalnya si lelaki yang akhirnya diketahui bernama Anton itu agak lupa kepada Linda dan bingung mengapa seorang gadis menelponnya dan tiba – tiba saja mengucapkan terima kasih karena berkat bando yang diberikannya, dia jadi memenangkan kontes modelling dengan busana rancangannya. Namun setelah penjelasan lebih rinci, akhirnya Anton mengingat Linda. Setelah itulah, dari pertemuan tak disengaja, komunikasi lewat percakapan, akhirnya hubungan mereka lambat laun terjalin menjadi sebuah kekasih.

Sebuah balon meletus yang suara ledakannya memekakkan telinga dan disusul erangan seorang balita yang menanggapi letusan balon tersebut dengan tangisan yang tiada berhentinya. Linda, tersentak hebat berbarengan dengan letusan balon yang tak jauh dari  lokasinya saat duduk. Letusan itu membuyarkan lamunannya akan masa lalunya. Dia lalu menoleh kepada anak kecil yang menangis. Merasa kasihan terhadap anak balita tersebut yang sekarang sedang ditenangkan oleh orang tuanya. Kemudian dia menoleh ke arah samping kanannya. Jantungnya berdebar kencang mendapati Anton yang masih berumur 17 tahun duduk disampingnya. Namun perlahan – lahan sosok itu memudar dan hilang. Linda baru sadar, dia masih terbawa dalam emosi perasaannya. Dengan tangan yang sedikit agak bergetar, dia mengusap kedua kelopak matanya, menyeka air mata yang sepertinya akan menetes.

Linda kembali berkonsetrasi kepada smartphone-nya. Masih, tatapannya belum beranjak pada ribuan foto yang terpampang dalam layar kaca smartphone-nya yakni berbagai kenangan yang dia buat bersama Anton. Kemudian dia mendongakkan arah pandangannya ke depan. Masih tetap toko peralatan olahraga, bukan toko assesoris seperti 6 tahun silam. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Linda sadar bahwa seiring berjalannya waktu, segalanya akan berubah, bahkan sebuah janji suci berlandaskan komitmen yang kuat serta ikrar kesetiaan sepanjang waktu pun tak dapat disangka bahwa semuanya itu juga akan goyah dan berubah seiring berjalannya waktu. Kelopak matanya kembali dibasahi oleh air mata. Kali ini dia tidak menyekanya, dia membiarkan air mata itu tumpah dan mengalir membasahi pipinya. Untuk apa batinnya dalam hati memendam rasa tangis ini jika memang harus diluapkan.

Kembali konsentrasinya tertuju ke arah layar smartphone. Kini genggamannya semakin erat mencengkram smartphone. Tangan satunya, dengan sedikt gemetar, memilih pilihan tandai semua pada seluruh foto dalam folder My Heart Beat. Setelah itu, berbarengan dengan dirinya memejamkan mata dan air mata yang berlinang membasahi pipinya, jarinya memilih pilihan hapus semua yang ditandai. Dan setelah sekian detik ketika dia membuka matanya, sudah tidak ada lagi satupun poto yang terpampang dalam folder My Heart Beat. Terhapus sudah segala kenangan foto dirinya dengan Anton.

Setelah memasukkan smartphone ke dalam tasnya. Linda beranjak berdiri. Saat itulah beberapa wanita dengan tinggi tubuh setara dengan dirinya berjumlah 5 orang sambil berbincang – bincang melewati dirinya diikuti beberapa fotographer dan penata rias serta busana dibelakangnya. Mereka adalah para model yang sedang ingin melakukan persiapan pentas maupun  pengambilan gambar. Setelah melewati Linda, salah satu dari kelima model tersebut menoleh ke arah Linda. Memerhatikan dirinya sejenak yang mungkin bagi model tersebut sosok Linda memiliki potensi yang sama seperti dirinya dalam berkarir di dunia modelling. Seorang fotographer dibelakang model tersebut juga menoleh ke arah Linda ketika penasaran mengapa salah satu modelnya mengamati dirinya terus – menerus. Tak lama kemudian rombongan itu sudah menghilang menuruni tangga eskalator.

Setelah kejadian barusan, dirinya menjadi semakin sedih. Seharusnya Linda sudah menjadi model dan perancang busana saat ini menggapai impiannya. Bukan sebagai seorang teller di salah satu bank swasta. Hanya karena perkataan, tolong, jangan memilih untuk menjadi model sebagai karirmu dimasa depan. Tahukah hatiku selalu cemburu jika banyak pasang mata melihatmu berlenggak – lenggok di atas catwalk?! Begitulah, suatu hari di masa lampau Anton mengungkapkan perasaannya kepada Linda. Namun apa yang didapatnya ketika dia akhirnya memilih untuk masuk di jurusan akuntansi dengan merelakan untuk tidak masuk ke Institut Seni demi menjaga perasaan Anton? Tak hanya kehilangan mimpinya, dia kehilangan dua sekaligus, cita – cita, dan Anton yang tak disangka seolah menghilang begitu saja bagai ditelan bumi ketika apapun yang berharga Linda relakan untuk menjaga hati dan perasaannya.

Matanya semakin memerah. Namun kali ini Linda menahan agar air mata itu tak membasahi pipinya. Dia menghela nafas panjang, menyisir rambutnya yang panjang ke belakang agar rapi kembali. Waktu semakin berjalan ke depan. Segalanya selalu berubah. Sesuatu yang sudah terjadi tak dapat dirubah kembali. Kini dia harus menjalaninya dengan penuh ketabahan hati. Ketika baru sekali melangkah, dia memberhentikan diri. Dia sadar masih ada sesuatu bagian dari masa lalunya dan Anton yang belum dibuangnya selain foto – foto kenangan dalam smartphone-nya. Dia menengadahkan jemari telapak tangan kirinya membentang ke arah atas sejajar dengan pandangan wajahnya. Dilihatnya sebuah cincin yang masih bersemayam di telunjuk tengahnya. Mungkin, setahun yang lalu dia sangat bahagia menerima cincin itu sebagai tanda ikatan hubungan mereka untuk ke jenjang yang lebih serius yang dipakaikan oleh Anton kepada Linda sebelum Anton berangkat bekerja ke luar Jawa menjalani proyek di Kalimantan.

Linda teringat ketika Anton melemparkan bingkisan kado kepada dirinya dahulu kala sambil berkata, “ itu sudah tak berarti lagi bagiku.” Dan begitu pula saat ini, cincin yang dikenakannya itu juga sudah tak mempunyai nilai, tak berarti bagi dirinya dan siapapun. Linda dengan gesit mencopot cincin itu dari telunjuk tengahnya. Kemudian meletakkannya ke bangku dimana mereka pertama kali bertemu 6 tahun  silam. Selamat Tinggal, dan terima kasih sudah pernah singgah dijemariku, batin Linda dalam hati, seolah cincin itu mempunyai indera pengecap untuk sanggup membalas keluh kesahnya. Setelahnya, Linda berjalan meninggalkan cincin itu yang tergeletak sendirian, dalam sepi, tanpa pernah menjadi pengikat siapapun dan tanpa pemilik yang pasti.
  
TERIMA KASIH              

Friday, September 4, 2015

CERBUNG HOW CAN BE PART 5

Sekembalinya kak Andi dari Surabaya, perubahan drastis terjadi kepada dirinya. Setelah pertemuan malam itu yang tak sengaja diriku mendapati foto pacarnya, sejak saat itulah, perilakunya mulai menjadi aneh.  Memasuki bulan terakhir masa PPL-nya, seharusnya dia menunjukkan semangat yang lebih agar bisa mendapatkan penilaian yang optimal dalam laporannya nanti. Tetapi kupikir, karena permasalahan dengan pacarnya saat berada di Surabaya, sepertinya kak Andi kehilangan semangat.

Setiap paginya ketika berboncengan bersama menggunakan sepeda, pandangan kak Andi selalu menerawang kosong ke arah depan. Entah pikiran kalut apa yang sedang menerpanya. Biasanya aku selalu mengajaknya ngobrol dikala perjalanan entah membicarakan topik apapun itu, namun melihat suasana hatinya yang sepertinya sedang terombang – ambing, walhasil aku juga ikut – ikutan membisu.

Aktivitas mengajarnya pun juga ikut terkena dampak permasalahan pribadinya. Akhir – akhir ini ketika mengajar, kak Andi sifatnya sedikit tempramental, tidak humoris seperti biasanya. Aku juga sedikit merinding jika mengikuti gaya mengajar kak Andi seperti itu, hampir menyerupai Bu Laksmi yang menyandang status si guru killer. Kadang setelah marah – marah kalau ada yang tak memperhatikan saat kak Andi mengajar, biasanya dia duduk memandangi lapangan bola dari kaca jendela, termenung sekian lama.

“Pak Andi sedang sakit?” Bisik Maulidha pelan terhadapku sambil menyiratkan ekspresi keheranan. Kupikir hanya aku saja yang merasakan perubahan yang terjadi pada kak Andi. Ternyata hampir seisi kelas juga menyayangkan perubahan sikap yang serba mendadak ini. Kupikir setiap murid di kelas ini menginginkan kak Andi yang supel dan humoris seperti biasa dalam mengajar. Toh, sebelumnya Bu Laksmi si guru killer yang mengajar di kelasku sangat mengerikan. Datangnya kak Andi benar – benar memberikan perubahan angin segar.

“Ibunya yang berada di Surabaya sedang sakit,” Bisikku menanggapi pertanyaan Maulidha. Tentu saja aku harus berbohong, karena kak Andi juga berbohong dengan alasan Ibunya sakit saat meninggalkan kost dengan maksud agar masalah pribadi dengan pacarnya tak diketahui oleh orang lain, tak mungkin aku malah mengatakan yang sebenarnya.

“Ini sudah ke 20 kalinya dan tetap saja kamu tak paham!!” Begitulah suatu ketika di malam hari kak Andi membentakku saat kita belajar bersama karena ketidakmampuanku dalam memahami suatu rumus. Ini pertama kalinya kak Andi membentakku.

Aku sungguh deg – degan saat itu. Tak biasanya jantungku berdebar keras seperti itu. Aku hanya menunduk terdiam. Kak Andi kemudian meminta maaf dan menyesal telah membentakku. Saat itu kupandangi wajah kak Andi yang sangat kucel. Rambut pada janggut yang merambat hingga ke dagu dan kedua pipinya tumbuh lebat tak dirapikan, sehingga membuat kesan sedikit berewokan. Rambut di kepalanya pun sudah agak gondrong, sehingga agak bergelombang jika tak disisir rapi. Kamarnya pun tak serapi seperti 2 bulan kemarin. Kini kamarnya benar – benar berantakan. Kurasa kak Andi berubah menjadi pribadi yang kacau sekembalinya dari Surabaya. Selain itu, sering kudapati handphone kak Andi bergetar di meja berulang kali saat kegiatan belajar bersama. Bahkan hampir setiap kali saat belajar bersama handphone kak Andi selalu bergetar. Di layar handphone itu tertulis  MyHeart nickname dari sebuah nama dari Ayunda Lestari yang sedang memanggil. Kak Andi selalu membiarkannya dan tak pernah sekalipun mengangkatnya. Meski aku duduk tak jauh dari letak handphone kak Andi yang selalu bergetar terus menerus, tapi aku tak pernah menanyakan siapa pemilik Nickname MyHeart tersebut, karena sebenarnya diam – diam aku sudah paham apa masalahannya.

*****

Malam ini langit tak ubahnya seperti medan perang. Kilatan cahaya mewarnai langit seakan para guntur sedang berpesta. Aku membasuh peluh keringat yang membasahi pipiku. Sambil mendesah keras menghela nafas dalam – dalam, saat itu juga kak Andi membuka pintu ruangan kost dengan sembari gerakan tangan mengucek rambutnya dengan handuk setelah mandi terhentikan begitu melihatku duduk di dalam kostnya.

“Eh, Lili, bukannya besok pelajaran kosong dan tak perlu belajar bersama?” Kata kak Andi dan kemudian dia menoleh ke seluruh isi ruangan. Mendapati karpet nya sudah bersih dari bungkus – bungkus kotoran. Rak buku yang tertata rapi. Debu – debu si setiap sudut yang entah menghilang kemana? Perabotan makan yang sudah tercuci bersih. Baju – baju yang sudah dirapikan. Dan aroma wangi ruangan yang menyejukkan seperti parfum. Setelah menoleh – noleh seperti petani yang sedang mengincar kancil yang kedapatan mencuri timunnya, kemudian kak Andi memerhatikanku dengan seksama.

“Lili, kaukah yang merapikan dan membersihkan segalanya?”

“Ah, iya, hehehe, “ Jawabku sambil kembali membasuh keringat yang mengucur dari kepala yang  membasahi pipiku.

Kak Andi kemudian melihat ke arah bawah, sadar mendapati dirinya hanya mengenakan celana pendek saja setelah mandi dan sontak berkata “Maaf,” lalu segera dia menuju ke tas koper yang berisi pakaian, mengambil sebuah kaos dan memakaianya.

Aku memang sengaja membersihkan kamar kak Andi ketika dia mandi. Setidaknya ingin memberikan kejutan kepadanya. Untunglah rencanaku berhasil, meski harus menggebu – gebu tadi saat membersihkannya karena khawatir kak Andi akan selesai mandi sebelum segalanya beres.

Setelah menyampirkan handuk, kak Andi kemudian duduk dihadapanku. Jarak kami dibatasi oleh sebuah meja mini yang biasanya kita buat untuk belajar bersama. Meskipun kak Andi belum merapikan janggut serta rambutnya yang masih panjang berantakan, namun kini wajahnya sudah segar selepas mandi.

“Lili, hmm tak seharusnya kamu repot – repot membersihkan kamarku seperti ini, katanya sambil menggaruk – garuk kepalanya.

“ Tidak apa – apa kak. Lagian semua kulakukan atas keinginanku sendiri. Sebenarnya aku tak ingin belajar dengan keadaan kamar kakak yang berantakan. Aku ingin suasananya bersih seperti dulu. Lagipula, sebagai balas budi juga karena selama ini kakak selalu mau mengajariku belajar matematika.”

“Hmm.., kalau begitu aku sungguh berterima kasih banyak Lili atas kebaikanmu, “ ucap kak Andi dengan ekspresi datar. Sebenarnya aku ingin kak Andi tersenyum atau sebagainya melihat apa yang kulakukan. Tapi mungkin kejutan ini masih tak berhasil membuat suasana hatinya yang sedang kalut menjadi sedikit lebih riang. Kemudian terdengar handphone kak Andi di atas meja kembali bergetar. Kak Andi sontak lama memandanginya dan sama seperti biasanya, dia tak mengangkatnya. Saat itulah kurasa aku sebaiknya pamit dulu. Sepertinya aku malah mengganggu posisi kak Andi yang seharusnya di saat - saat seperti ini butuh kesendirian untuk menenangkan pikirannya. Dan saat hendak beranjak dari posisi duduk, tiba – tiba saja kak Andi berkata;

“Oh, iya Lili, mau aku buatkan roti selai madu kah?”

Mendengar itu, perasaanku langsung senang. Itu menandakan bahwa kak Andi ingin diriku sedikit lama berada di kamarnya. Saat tawaran roti selai madu itu terlontar dari mulut kak Andi, posisiku sempat sedikit mengangkat tumit dan ingin beranjak berdiri. Dan setelah mendengar tawaran kak Andi, entah kenapa tubuhku mendadak membeku. Sontak saja langsung aku jawab aku ingin roti selai buatan kak Andi. Kemudian setelah menjawab, kulemaskan tumitku dan akhirnya aku kembali duduk serta batallah sudah niatku untuk pergi.

Ketika kak Andi menyodorkan roti selai madu buatannya aku langsung menyahut dan mengunyahnya keras – keras. Kulihat kak Andi juga mengigit rotinya sendiri.

“Kenapa kamu tak ikut kedua orang tuamu ke kelurahan mengikuti acara malam 17 Agustusan? Bukannya kamu panitia yang mendekor panggung acara?” Tanya kak Andi dengan mulut penuh gigitan roti.

“Pas lomba kemarin aku memenangkan hampir semua perlombaan loh. Kalau tidak salah aku juara 1 sebanyak 7 kali lomba yang aku ikuti. Ada lompat karung, bawa kelereng dengan sendok, panjat pinang, dan apalah banyak pokoknya. Aku gak berangkat karena malu nanti dipanggil 7 kali ke panggung saat penyerahan hadiah. Mana nanti disuruh berpidato menyikapi hari kemerdekaan ini. Kalau suruh adu lomba sih oke, tapi lo pidato di depan banyak orang, aduuhh, rasa percaya diriku tiba – tiba meninggalkanku, “ jawabku dengan penuh antusias dan tanpa sadar aku melihat kak Andi tersenyum melihatku. “ Apa yang lucu kak”? Tambahku kepada kak Andi.

Kamu anak yang tak terlalu bagus dalam hal pelajaran Lili, “ Kata Kak Andi. Hanya saja kamu terlalu hebat untuk hal – hal diluar non formal seperti menjalin komunikasi dengan ayam – ayammu. Memenangkan bayak lomba seperti yang kamu ceritakan barusan. Memberikan kejutan seperti membersihkan kamarku disaat aku mandi. Sebenarnya ini luar biasa kamarku menjadi bersih hanya dalam jangka waktu hanya 20 menit saja selang aku tinggal mandi. Kalau aku sendiri yang membersihkan mungkin butuh waktu hampir 1 jam. Kau ingin tahu sesuatu yang lain?”

“Apa itu, “ Kataku penasaran campur bahagia karena kak Andi masih tersenyum hingga saat ini. Senyumannya ini yang aku tunggu karena sekembalinya dari Surabaya, kak Andi hanya menunjukkan wajah muram seperti hantu di malam jumat kliwon.

“ Ketika aku seusiamu, aku bahkan tak pernah menjuarai satupun lomba pada saat acara memeriahkan 17-an. Hingga pada malam hari kemerdekaan aku pernah menangis keras – keras karena tak pernah naik panggung menerima hadiah. Tangisanku sontak membuat heboh dan akhirnya ada temanku yang merelakan kado hadiah juara lombanya untukku. Seketika itupun aku berhenti mengais,” Ungkap Kak Andi. Akupun langsung merespon dengan tawa yang keras setelah mendengar ceritanya.

“ Jadi kamu dulu itu adalah anak yang cengeng ya kak Andi, “ tukasku sambil tertawa keras sampai tak sadar masih ada roti di dalam mulutku.

“Hei, aku bukan anak cengeng, “ kilah kak Andi dan tetap saja aku masih terus mengejeknya dengan candaan. Setelah itu, perbincangan kami terus berlanjut tanpa sadar seakan tenggelam dalam arus obrolan yang hanyut dalam aliran menuju muara yang tak berujung.

*****

Pagi harinya sepulang upacara hari kemerdekaan di sekolah, kurang lebih pukul 10.00, aku menggedor pintu kamar kak Andi keras – keras. Ketika pintu terbuka, aku sedikit terkejut mata kak Andi agak memerah dan tangannya menggegam handphone.

“Oh, Lili. Ada perlu apa?” Tanya kak Andi bersandar pada ujung pintu dengan masih menggunakan seragam mengajarnya.

“Mata kakak kenapa merah?” Tanyaku.

“Oh, ini tadi terkena debu saat kita perjalanan pulang tadi naik sepeda,” jawabnya lagi – lagi berbohong meskipun sebenarnya aku tahu akhirnya kak Andi menerima panggilan pacarnya Ayunda Lestari dan sepertinya terjadi pertengkaran atau percakapan yang buruk.

“Oh, iya kak. Aku mau mengajak kakak ke sungai tempat aku dan Ujang, Rara serta Mimit biasanya bermain. Aku jamin kakak bakal suka, karena viewnya indah.” Ajakanku kepada kak Andi. Tapi reaksinya sepertinya menandakan kak Andi enggan menerima ajakanku.

“Sebetulnya aku juga mau menemani tapii....,” belum selesai kak Andi mengutarakan alasan penolakannya tiba – tiba dia berteriak dengan kencang; “Awww!” Sontak aku juga terkejut dan kak Andi mengangkat serta memeganngi telapak kakinya.

Ternyata semua ini adalah ulah Ujang yang mematuk telapak kaki kak Andi. Akupun juga heran mendadak saja Rara, Mimit dan Ujang sudah berada dibawahku. Seakan mereka mempunyai telepati untuk membaca pikiranku, mengetahui jika aku mempunyai rencana untuk pergi ke sungai yang notabene tempat bermain kesukaan mereka.

“Apa – apaan sih ayammu ini!, “ desah miris kak Andi sambil mengelus – elus telapak kakinya.

“Kurasa Ujang juga menginginkan kakak ikut deh main ke sungai,” Ujarku. Kemudian kak Andi memandangiku dan aku memberikan ekspresi memelas kepadanya; “ kumohon kak!”

*****

“ Kenapa kamu tak bilang dari dahulu jika ada sungai besar di area desamu,” Kata kak Andi dengan ekspresi kagum.

Kulihat Ujang, Rara dan Mimit sudah asyik bermain sendiri di pinggir bantaran sungai. Memang tak bisa dipungkiri, jika di suatu daerah kebanyakan warganya selalu berkumpul di alun – alun kota untuk menghabiskan akhir pekan maupun sekedar refreshing, maka kalau di desaku, sungai ini adalah pilihan utamanya. Selain airnya yang jernih, arusnya yang deras namun dangkal, batu – batuannya yang besar, gemericik airnya yang menggoda telinga, terutama udaranya yang super sejuk walau di siang hari, itulah nilai utama kekuatan daya tarik sungai ini. Aku memang sengaja mengajak kak Andi ke sini untuk menyegarkan pikirannya. Agar tak terlalu larut dalam permasalahan yang terjadi antara dirinya dan pacarnya. Dan yang pasti, tujuanku sukses besar hari ini.

Kulihat kak Andi langsung berlari naik ke salah satu batuan bulat yang kokoh yang berdiri tegap di atas sungai. Dia berdiri dan melihat sekeliling.

“Wow, ini sih keren, “ Ungkapnya kagum. “Coba kamu bilang dari dulu ada sungai seindah ini Lili”

“Nah, apa kubilang! Kakak pasti menyukainya, “ kataku menegaskan. Lalu kemudian aku juga berlari menaiki salah satu batuan yang ukurannya tak terlalu besar membelakangi kak Andi. Aku angkat tanganku, menegapkan dadaku dan menghirup udara sebanyak – banyak. “ Hmm segarnyaa..,” Ungkapku dengan penuh kelegaan.

“Lili, coba menoleh kemari”, tiba – tiba saja Kak Andi memanggilku. Dan, tepat ketika aku memalingkan wajah ke arah kak Andi, sebuah bunyi shutter kamera handphonenya berbunyi. Clikk!! Kemudian kupandangi kak Andi tersenyum sendiri memandangi hasil jepretannya.

“Hah, apa – apaan sih kamu kak asal jepret segala!!” Kataku geram. Kemudian aku melompat dari batu, berjalan menuju ke arah kak Andi dengan langkah yang menimbulkan bunyi gemericik. “ Sini kak berikan padaku aku ingin lihat, “ pintaku pada kak Andi tapi dia tak mau menyerahkannya karena alasan pasti aku akan menghapusnya sambil tersenyum kecut.

Langsung aku menengadahkan tanganku untuk mengambil handphone yang berada di genggamannya, tapi secara gesit kak Andi berhasil menghindari gerakan tanganku. Hah, aku makin kesal, kak Andi melompat ke batuan yang lain dan aku tetap mengejarnya. Karena tinggi kami yang berbeda jadi aku kesusahan meraih tangannya, dan kak Andi tetap saja memancingku dengan godaan tawanya. Aku memasang muka geram terhadap kak Andi, tapi sebenarnya hatiku tertawa geli. Sayangnya momen canda ini harus berhenti karena handphone kak Andi kembali bergetar. Dan tak perlu kutebak lagi siapa yang menghubunginya.

Kak Andi mendadak berhenti seolah – olah berubah menjadi patung. Wajahnya menjadi kembali kalut memandangi layar handphonenya. Karena aku tak ingin momen ini dirusak oleh pacarnya, maka aku melompat dari batu, menuju ke tengah sungai yang kedalamannya lebih menjorok, setelah itu kumasukkan dalam – dalam kedua tanganku dan sekuat tenaga kucipratkan gumpalan – gumpalan air kepada kak Andi.

Byuuuurrr!! Suara air menciprati tubuh kak Andi yang sedang mematung. Respon tubuhnya seperti orang yang kaget setengah mati. Dia menoleh padaku dan berteriak, “ Lili jangan nakal ya!!”

Dan akhirnya, apa yang aku upayakan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap pacarnya berhasil. Kak Andi melucuti kaosnya untuk menutupi hanphonenya yang dia letakkan di atas batuan yang dipijaknya. Setelah itu dia melompat ke sungai dan menimbulkan debum suara air yang keras kemudian dengan cepatnya membalas seranganku tadi dengan cipratan air yang lebih banyak lagi karena tenaga kak Andi lebih kuat dariku.

Byuurrr!!! Akhirnya serangan balasan kak Andi berhasil mengenaiku sebagai sasaran. Aku agak sedikit terpelanting dan hampir terseok jatuh mendapati guyuran air dari kak Andi. Tapi aku tak tinggal diam begitu saja, dengan cepat aku juga langsung membalas serangan kak Andi, sayangnya kak Andi bisa menghindarinya untuk kali ini. Dan begitulah, hari itu kami menghabiskan waktu bermain air di sungai hingga menjelang tengah hari. Ujang, Rara dan Mimit setidaknya mereka menjadi penonton yang setia pada saat itu.

*****

Keesokan paginya hal luar biasa terjadi. Pukul 06.00 pagi, ketika aku menuju kandang ayam seperti biasanya, kulihat kak Andi jongkok di depan kandang ayam sudah siap dengan seragam mengajarnya dan sedang memberi makan Ujang, Rara dan Mimit. Yang luar biasa kak Andi mengelus – elus kepala Ujang dengan santainya dan Ujang seakan menikmati belaian sayang dari kak Andi. Sesuatu hal yang tak bisa dipercaya karena mereka berdua sebetulnya tak begitu akur.

Aku melangkah mendekati mereka namun terhenti ketika melihat sesuatu yang teronggok di kotak sampah di depan kamar kost kak Andi. Awalnya aku agak ragu dengan apa yang aku lihat namun aku yakin sesuatu yang teronggok di tempat sampah itu adalah sesuatu yang aku kenal pasti. Dalam himpitan plastik dan kotak – kotak cemilan serta minuman, kuraih sebuah kertas yang menyelip diantara sampah – sampah dan kutarik kertas itu. Dan aku sendiri tak peracaya, dalam jepitan dua buah jariku, kupandangi wajah kak Ayunda Lestari yang sangat cantik seolah sedang mengamatiku. Ya, itu adalah foto kak Ayunda kekasih kak Andi. Lantas kenapa bisa ada ditempat sampah seperti ini?

“Lili,” seru kak Andi. Kemudian aku menoleh ke arah dirinya dan menyembunyikan foto kak Ayunda dibalik rok seragam sekolahku. Kulihat kak Andi berdiri dan mendekat. Kupandangi ada yang berbeda kali ini dengan kak Andi. Rambutnya kini sudah dicukur, disisir rapi dengan balutan pomade. Berewoknya juga sudah hilang, kini area dagu dan pipinya bersih mulus seperti sedia kala. Kak andi sudah kembali keren seperti biasanya. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah dengan dibuangnya foto kak Ayunda ini menandakan bahwa kak Andi sudah memutuskannya? Dan dengan berubahnya tampilan kak Andi yang sekarang sudah keren seperti sedia kala menandakan bahwa dia sudah bisa move on?

“Lili, sudah siap untuk berangkat, “ Tanya kak Andi sambil dia menuntun sepeda Ayah sembari menghampiriku.

“Eh,.. iya, siap Pak Guru, “ jawabku sambil secara diam – diam aku memasukkan lembar kertas foto kak Ayunda ke dalam saku celanaku begitu kak Andi mulai berjarak tak jauh dariku.

Ketika perjalanan berboncengan menaiki sepeda, kak Andi sudah kembali berceloteh seperti kicau burung di pagi hari. Aku senang akhirnya kak Andi kembali seperti semula. Dulu, ketika pertama kali  mengetahui dia mempunyai pacar yakni kak Ayunda, duh rasanya hati ini benar – benar galau. Emosi bergelut tak karuan di hati. Namun mau bagaimana lagi, ingin memprotes kepada siapa kalau kak Andi sudah ada yang punya? Saat itu aku menyadari bahwa sebenarnya aku menjadi egois jika marah – marah tanpa alasan yang jelas. Dan aku mulai bersyukur setidaknya bisa menyukai kak Andi sebatas kakak – adik.

Tapi mengetahui kak Andi menjadi kacau setelah mempunyai masalah dengan kak Ayunda, rasa – rasanya hati ini tak tega melihat orang yang kita sukai berubah dalam keterpurukan. Walhasil, entah kenapa aku menjadi lebih perhatian ketika kak Andi sedang dirundung cobaan. Aku hanya berusaha, apapun itu agar kak Andi kembali tersenyum. Bisa dibilang rencanaku itu berhasil. Sekarang kak Andi sudah kembali lagi seperti semula. Hanya saja sangat disayangkan kemungkinan besar kak Andi memutuskan hubungannya dengan kak Ayunda ditandai dengan dibuangnya foto kekasihnya dan perubahan drastis pada diri kak Andi pada pagi hari ini. Memang, disisi lain aku menyayangkan andai saja hubungan kak Andi dengan kak Ayunda benar – benar pupus - disitu aku merasa agak sedikit jahat karena mempunyai perasaan lega jika kak Andi kembali menjadi jomblo. Dan jika benar – benar kak Andi nantinya mempunyai status jomblo, akankah aku berani menyatakan perasaanku diluar batas sekedar hubungan kakak- adik ini? Dan akankah kak Andi mau menerima perasaanku untuk menggantikan diri kak Ayunda di dalam hatinya? Baru kali ini dalam hidup aku takut akan sebuah jawaban.   

Sunday, May 31, 2015

CERBUNG HOW CAN BE PART 4

Memasuki awal musim penghujan, memang hawanya tidak begitu mengenakkan. Ketika mendung tiba, udara menjadi sedikit panas bercampur lembab. Aku tidak begitu suka keadaan seperti itu, membuat keringat ini dengan sendirinya keluar tanpa melakukan gerakan olahraga sedikitpun. Memang musim penghujan kali ini datang lebih cepat daripada tahun – tahun sebelumnya.

Pada tahun sebelumnya aku teringat jika hujan tiba, aku selalu bermain dengan Ujang, Rara dan Mimit di kamar kost dibelakang halaman rumah ketika belum ada penghuninya. Saat ini ketika hantaman air hujan yang bertubi – tubi membasahi genting rumahku, dari teras belakang rumah, sambil bersandar di mulut pintu, yang kulakukan hanya memandangi kandang Ujang, Rara dan Mimit dari kejauhan. Maap, aku tak tahu harus mengajak kalian kemana lagi jika hujan tiba. Markas bermain kita sekarang sudah dihuni oleh kak Andi. Kupikir mulai besok aku harus mengubah jadwal bermain kita mengingat musim penghujan sudah tiba.

Kupalingkan tatapanku pada kamar kost yang dihuni oleh Kak Andi. Kulihat pintunya tertutup erat. Begitu pula dengan jendelanya. Tak kudapati kali ini sepatu hitam yang biasanya tergeletak sembarangan di emperan terasnya. Yang kulihat hanyalah genangan – genangan kecil air yang terbentuk akibat siraman hujan. Kutengadahkan kepalaku dan kupandangi langit hitam yang mendung. Mengamati cuaca langit saat ini, rasa – rasanya suasana mendung juga sedang menyelimuti hatiku. Kak Andi hari Jum’at kemarin kemarin pamit pulang ke Surabaya  selama 3 hari karena alasan Ibunya sedang sakit. Mendengar itu dari Ayah berarti 3 hari ini aku harus belajar sendiri tanpa dirinya. Aku ingat malam Sabtu kemarin ketika mengerjakan soal – soal di LKS matematika. Aku bisa mengerjakan beberapa soal, konsentrasiku tak tergoyahkan ketika memecahkan perhitungan, hanya saja, sepertinya ada yang kurang dalam hati ini tanpa kehadiran kak Andi. Entahlah, mengapa aku merasa seperti kesepian tanpa kehadiran kak Andi? Bukannya ada Ayah, Ibu, Ujang, Rara dan Mimit? Tapi apapun itu, perasaan ini muncul begitu saja. Atau mungkinkah ini yang disebut rindu...? Aku tak mau banyak ambil pusing mengenai pergolakan yang terjadi di hatiku. Hari minggu sore ini, suasana ditutup dengan kucuran air hujan yang tak ada hentinya sejak siang tadi. Yang aku harap, semoga Ibu kak Andi cepat diberikan kesembuhan sehingga besok hari Senin aku bisa menyambut kepulangan dirinya.

******

Pada Senin sore yang cerah dan tidak hujan seperti hari – hari kemarin, setelah memasukkan Ujang, Rara dan Mimit ke dalam kandang, begitu senangnya diriku ketika mendapati  bahwa pintu kamar kost Kak Andi sudah terbuka sedikit. Kuperhatikan, sepatu warna hitamnya juga sudah berserakan di emperan teras, sesuai dengan sifat kak Andi yang tak pernah peduli dimana dia meletakkan sepatunya sesampainya di kost. Mengetahui itu, aku  langsung mandi. Anehnya mandi kali ini aku kerap menyanyikan lagu – lagu pop melow yang sedang hits di kancah siaran radio lokal ditempatku. Apakah aku terlalu girang karena kedatangan kak Andi sehingga aku menjadi terlalu ber-euforia yang akhirnya membuat Ayahku menegurku karena terlalu lama mendekam di kamar mandi  layaknya burung yang sedang mengerami sarangnya.

Setelah melaksanakan kewajiban shalat Mahgrib, tepat pada pukul 6 malam, aku langsung meluncur ke kost kak Andi. Aku sengaja ingin belajar lebih awal dengan alasan agar bisa lebih berlama – lama dengan dirinya. Tidak bertemu dengan kak Andi selama 3 hari saja, entah bagaimana rasa – rasanya seperti seminggu dan sontak saja aku teringat lagu romantis yang sedang ngetren di radio yang lirik lagunya sama dengan suasana hatiku saat ini. 

Namun dari kejauhan, begitu terkejutnya diriku mendapati bahwa kamar kost kak Andi gelap gulita tanpa penerangan lampu. Pintunya pun posisinya masih seperti tadi sore dengan posisi hanya terbuka sedikit. Rasa penasaran mendadak menyesaki otakku yang sontak membuatku langsung berlari ke arah kamarnya.

Ketika sampai di depan pintu, kuintip ke dalam pada celah pintu yang terbuka. Tidak begitu jelas apa yang terjadi di dalam karena gelap, namun karena sisa – sisa cahaya dari lampu penerangan kandang ayam, yang meski jaraknya berjauhan dengan kamar kak Andi, setidaknya sedikit membantuku untuk melihat sosok kak Andi yang sedang duduk membelakangi meja mungilnya. Apa yang dilakukannya gelap – gelap di dalam kamar duduk termenung diam dengan pandangan tertunduk seperti itu? Apa kak Andi masih sedih dengan kondisi ibunya yang sedang sakit?

Karena merasa ada yang tak wajar terjadi dengan diri kak Andi, maka kuberanikan diriku untuk mengetuk pintunya. Tok – tok – tok!!! Untuk ketukan yang ketiga sengaja kukeraskan kepalan tanganku pada kayu jati yang menjadi bahan dasar pintu kamar. Dan akhirnya berhasil, ketukan pintu yang kulakukan membuat kak Andi tersentak kaget dalam diamnya. Meski samar – samar, kulihat dia menoleh ke belakang. Akhirnya, kak Andi berdiri dengan cepatnya. Aku sempat takut karena keadaan di dalam gelap, dan sosok kak Andi hanya terlihat samar- samar dalam gelap, jantungku sempat berdegup kencang andai jika sok – sok hitam yang berdiri itu bukan kak Andi melainkan wewe gombel ataupun genderuwo. Tapi syukurlah, ketika lampu dinyalakan, 100% itu adalah sok – sok kak Andi yang asli bukan mahkluk jadi – jadian ataupun sebagainya seperti yang kukhawatirkan.

Krieettt bunyi pintu terbuka dan kak Andi berdiri tegap dihadapanku. “Oh, Lili,...” hanya itu kata yang terucap di mulutnya dengan nada lemas. Kulihat wajahnya sangat kusam, dan kupikir kak Andi belum mandi sepulang dari perjalanan. Sebulan berada di kost kuamati rambutnya sudah memanjang dan kondisinya kudapati saat ini sangat acak – acakan seakan kak Andi menjambaki sendiri rambutnya sampai amburadul. Kami sempat lama saling pandang dalam diam. Lebih tepatnya aku bingung ingin mengucapkan sepatah kata apa terhadap diri kak Andi yang kupikir berbeda kali ini. Dalam matanya, kulihat tatapan kosong yang seolah diriku tak ada dalam penglihatannya. Entah pikiran apa yang membebani dalam otaknya hingga membuatnya seperti ini, tapi kupikir karena keadaan ibunya yang sedang sakit.

“ Oh, ya Lili,” Ucap Kak Andi  masih dengan nada lemas. “ Bisakah hari ini kita tidak belajar bersama dulu? Emm..badanku agak tidak enakan.”

“Oh....,hanya begitulah reaksi kecewaku dengan permintaan kak Andi. Meskipun kulihat tak ada sedikit pun tanda – tanda meriang pada diri kak Andi. “Baiklah kak, aku pamit dulu,” kataku pada kak Andi yang kini bergantian menggunakan nada lemas.

“Oh, tunggu dulu Lili, “ Kak Andi seketika menghentikan langkahku. Hampir saja lupa, aku membawakan oleh – oleh untukmu dan Ayahmu, masuklah sebentar”. Perkataannya itu sedikit mengobati rasa kecewaku karena tak dapat belajar bersama hari ini, namun setidaknya ada sedikit waktu bagiku dengan kak Andi meski hanya perihal oleh – oleh.

Sesampainya di dalam kamar, kak Andi menyuruhku duduk di depan meja mungil sembari dirinya membelakangi diriku sambil membuka sebuah kardus yang diikat erat oleh tali rafia dan ditempel erat menggunakan plester. Di depanku, tergeletak sebuah buku catatan yang lupa ditutup oleh kak Andi. Buku itu mempunyai dimensi yang kecil namun tebal. Setelah kucermati ternyata buku itu adalah sebuah buku harian. Wow, kak Andi ternyata menulis dan mencurahkan segalanya di buku hariannya. Aku sendiri malah tak berfikir dua kali untuk menulis seperti apa yang dilakukan oleh kak Andi. Ujang, Rara dan Mimit adalah tempat terbaik bagiku untuk mencurahkan segalanya selama ini meski aku tahu mereka tidak akan paham semua yang aku utarakan namun aku merasa lega jika melakukannya.

Kalau dipikir – pikir, ternyata di dalam kamar ini daritadi kak Andi sedang menulis di buku hariannya. Tapi agak janggal juga jika kak Andi menulis dalam keadaan gelap gulita ketika diriku mengunjunginya. Yang kulihat samar – samar tadi bahwa kak Andi duduk tertunduk lesu dan pandangannya mengarah ke arah buku diari yang ada dihadapanku ini. Lalu apa yang direnunginya dari buku diari ini? Aku jadi penasaran dan otakku mulai mendesakku untuk memberikan perintah agar memanfaatkan kesempatan membaca tulisan yang tertuang dalam buku diari ketika kak Andi sedang sibuk mengeluarkan oleh – oleh dari dalam kardus. Ketika sebatas membaca dua kalimat, langsung aku menengadahkan kepalaku ke arah atas. Tidak boleh, tidak boleh, ini rahasia orang lain, aku tak boleh diam – diam membacanya .Seketika itu juga, handphone milik kak Andi bergetar dan layarnya yang berukuran besar menyala. Dan tanpa sengaja, aku membaca rentetan pesan yang membentuk kronologis seperti chat. Nama pengirimnya bernama Zaenal. Tetapi kak Andi dalam kontak pesannya memberikan nickname Zaenal bestfriend, menandakan Zaenal lebih dari sekadar teman, bisa jadi sahabat sejati. Dalam salah satu paragrahnya, aku sedikit tertegun ketika membacanya.

Bukankah sudah aku bilang. Ayunda bukanlah gadis yang baik buat kamu. Kupikir dia jadian dengan kamu hanya untuk mengisi hatinya yang kosong saat ditinggalkan oleh Anton kekasihnya yang pernah putus saat mereka SMA. Maap jika aku mengatakan kepadamu bahwa aku mendapati Ayunda dan Anton terlihat sangat berdekatan sekali ketika mereka berdua dipertemukan dalam satu desa tempat dimana mereka berdua saat ini PPL di Surabaya. Zack yang satu tempat PPL dengan Ayunda memberitahuku bahwa dia melihat kamu dan Ayunda terlibat adu mulut minggu kemarin. Hmm, tega sekali kamu tidak memberitahuku jika dirimu pulang beberapa hari ini ke Surabaya untuk menindaklanjuti laporanku mengenai Ayunda. Ingat, kau masih berhutang padaku lontong balap loh, hehe.

Begitulah, sebuah paragraph pesan masuk di hanphone milik kak Andi yang membuatku tertegun setelah membacanya. Di sini aku menemui titik terang bahwa ternyata kak Andi kembali ke Surabaya kemarin bukan karena urusan Ibunya yang sakit, melainkan menindaklanjuti masalah dengan pacarnya berdasarkan laporan – laporan dari sahabatnya Anton yang juga satu area PPL dengan Ayunda. Namun aku belum 100% paham betul dengan masalah yang dihadapi oleh kak Andi. Jalan alternatif untuk mengetahui semuanya adalah dengan membaca sebuah diari yang ada dihadapanku ini. Kutajamkan pandanganku ke arah lembaran kertas diari yang ada dihadapanku, kemudian kulanjutkan kembali tulisan dari dua kalimat awal yang sempat tertunda tadi. Namun tiba – tiba suara guntur muncul dengan kerasnya dan memekakkan telinga. Karena pintu kamar tidak ditutup, hembusan angin memasuki ruangan kamar. Beberapa lembar kertas diari tersibak karena hembusan angin, dan selembar kertas ukuran kartu nama namun sedikit lebih lebar keluar dari lembaran kertas yang tersibak dan terbang melayang. Dengan respon cepat aku menangkap kertas yang melayang itu. Dalam genggaman tanganku, aku merasakan bahwa ini adalah selembar foto. Posisi saat aku menggenggamnya adalah foto itu membelakangi wajahku. Jadi hanya lembaran warna putih bagian belakang foto saja yang kudapati. Tapi di lembaran warna putih yang memenuhi seluruh bagian belakang kertas poto itu terdapat tulisan My First Love. Aku sangat tahu tulisan tangan ini milik kak Andi. Ketika kubalikkan lembaran kertas foto itu, terdapat sebuah gambar seorang gadis setengah badan dengan raut wajah yang sedang tersenyum.

Gadis itu memakai seragam almameter kampus yang sama dengan kak Andi. Latar belakang di foto tersebut adalah sebuah pohon yang rindang di tengah taman yang luas. Gadis itu berwajah oval, namun kesan ovalnya tertutupi oleh model rambut pendeknya yang tidak sampai sebahu bergaya poni yang lebat diatas jidatnya. Bentuk wajah, gaya rambut disandingkan dengan senyumannya saat dipotret, memberikan keserasian yang optimal untuk menimbulkan sebuah kesan manis dan imut dalam dirinya. Di sisi bawah sebelah kanan foto tersebut, terdapat tulisan tangan kak Andi yang merangkai sebuah nama Ayunda Lestari.

Kresek – kresek, bunyi plastik terdengar seperti bunyi seekor tikus yang mencari – cari remahan makanan di semak – semak dapur. Ternyata bunyi itu berasal dari kak Andi yang sudah berhasil mengurai ikatan dan membuka kardus dan mengeluarkan beberapa makanan yang dibungkus oleh plastik yang tebal. Sontak saja ketika itu aku langsung kembali menyelipkan foto kak Ayunda kembali ke dalam tumpukan lembaran diari yang berada didepanku. Pas saat wajah kak Andi menoleh ke arahku sambil berkata mengenai oleh – oleh kerupuk ikan yang dibawanya, foto itu sudah aman kembali ke posisinya semula.

Setelah berpamitan kepada kak Andi aku berjalan menjauhi kostnya. Dengan kedua tanganku yang mendekap dua buah krupuk ikan oleh – oleh dari kak Andi beserta buku – buku LKS dan pelajaran yang kujadikan satu, aku mendadak memberhentikan langkahku. Kubalikkan badanku   dan sekarang aku menatap kamar kost kak Andi dari kejauhan sambil berdiam diri. Langit mulai menyala – nyala akibat guntur yang muncul secara bertubi – tubi tanpa mngeluarkan gelegar suaranya sedikitpun. Rintik hujan, mulai kurasa sedikit demi sedikit membasahi tubuhku. Seumur hidup, baru kali ini aku mengalami sebuah perubahan perasaan yang sangat drastis. Dari awalnya aku yang sangat bersemangat ingin segera menemui kak Andi sepulangnya dari Surabaya karena dorongan perasaan yang belum pasti juga kuyakini sebagai sebuah perasaan rindu, secara drastis tiba – tiba saja berubah menjadi sebuah perasaan yang sedikit mengena di hati. Saat ini diriku benar – benar merasa...galau.   

( 31 - 05 - 2015 )
ARIEF W.S
TERIMA KASIH