Sekembalinya
kak Andi dari Surabaya, perubahan drastis terjadi kepada dirinya. Setelah
pertemuan malam itu yang tak sengaja diriku mendapati foto pacarnya, sejak saat
itulah, perilakunya mulai menjadi aneh. Memasuki
bulan terakhir masa PPL-nya, seharusnya dia menunjukkan semangat yang lebih
agar bisa mendapatkan penilaian yang optimal dalam laporannya nanti. Tetapi
kupikir, karena permasalahan dengan pacarnya saat berada di Surabaya,
sepertinya kak Andi kehilangan semangat.
Setiap
paginya ketika berboncengan bersama menggunakan sepeda, pandangan kak Andi
selalu menerawang kosong ke arah depan. Entah pikiran kalut apa yang sedang
menerpanya. Biasanya aku selalu mengajaknya ngobrol dikala perjalanan entah
membicarakan topik apapun itu, namun melihat suasana hatinya yang sepertinya
sedang terombang – ambing, walhasil aku juga ikut – ikutan membisu.
Aktivitas mengajarnya pun juga ikut terkena dampak permasalahan
pribadinya. Akhir – akhir ini ketika mengajar, kak Andi sifatnya sedikit
tempramental, tidak humoris seperti biasanya. Aku juga sedikit merinding jika
mengikuti gaya mengajar kak Andi seperti itu, hampir menyerupai Bu Laksmi yang
menyandang status si guru killer.
Kadang setelah marah – marah kalau ada yang tak memperhatikan saat kak Andi
mengajar, biasanya dia duduk memandangi lapangan bola dari kaca jendela,
termenung sekian lama.
“Pak
Andi sedang sakit?” Bisik Maulidha pelan terhadapku sambil menyiratkan ekspresi
keheranan. Kupikir hanya aku saja yang merasakan perubahan yang terjadi pada
kak Andi. Ternyata hampir seisi kelas juga menyayangkan perubahan sikap yang
serba mendadak ini. Kupikir setiap murid di kelas ini menginginkan kak Andi
yang supel dan humoris seperti biasa dalam mengajar. Toh, sebelumnya Bu Laksmi
si guru killer yang mengajar di
kelasku sangat mengerikan. Datangnya kak Andi benar – benar memberikan
perubahan angin segar.
“Ibunya
yang berada di Surabaya sedang sakit,” Bisikku menanggapi pertanyaan Maulidha.
Tentu saja aku harus berbohong, karena kak Andi juga berbohong dengan alasan
Ibunya sakit saat meninggalkan kost dengan maksud agar masalah pribadi dengan
pacarnya tak diketahui oleh orang lain, tak mungkin aku malah mengatakan yang
sebenarnya.
“Ini
sudah ke 20 kalinya dan tetap saja kamu tak paham!!” Begitulah suatu ketika di
malam hari kak Andi membentakku saat kita belajar bersama karena
ketidakmampuanku dalam memahami suatu rumus. Ini pertama kalinya kak Andi
membentakku.
Aku
sungguh deg – degan saat itu. Tak
biasanya jantungku berdebar keras seperti itu. Aku hanya menunduk terdiam. Kak
Andi kemudian meminta maaf dan menyesal telah membentakku. Saat itu kupandangi
wajah kak Andi yang sangat kucel. Rambut pada janggut yang merambat hingga ke
dagu dan kedua pipinya tumbuh lebat tak dirapikan, sehingga membuat kesan
sedikit berewokan. Rambut di kepalanya pun sudah agak gondrong, sehingga agak
bergelombang jika tak disisir rapi. Kamarnya pun tak serapi seperti 2 bulan
kemarin. Kini kamarnya benar – benar berantakan. Kurasa kak Andi berubah
menjadi pribadi yang kacau sekembalinya dari Surabaya. Selain itu, sering
kudapati handphone kak Andi bergetar
di meja berulang kali saat kegiatan belajar bersama. Bahkan hampir setiap kali
saat belajar bersama handphone kak
Andi selalu bergetar. Di layar handphone
itu tertulis MyHeart nickname dari sebuah nama dari Ayunda Lestari yang sedang
memanggil. Kak Andi selalu membiarkannya dan tak pernah sekalipun
mengangkatnya. Meski aku duduk tak jauh dari letak handphone kak Andi yang selalu bergetar terus menerus, tapi aku tak
pernah menanyakan siapa pemilik Nickname
MyHeart tersebut, karena sebenarnya diam – diam aku sudah paham apa
masalahannya.
*****
Malam
ini langit tak ubahnya seperti medan perang. Kilatan cahaya mewarnai langit
seakan para guntur sedang berpesta. Aku membasuh peluh keringat yang membasahi
pipiku. Sambil mendesah keras menghela nafas dalam – dalam, saat itu juga kak
Andi membuka pintu ruangan kost dengan sembari gerakan tangan mengucek
rambutnya dengan handuk setelah mandi terhentikan begitu melihatku duduk di
dalam kostnya.
“Eh,
Lili, bukannya besok pelajaran kosong dan tak perlu belajar bersama?” Kata kak
Andi dan kemudian dia menoleh ke seluruh isi ruangan. Mendapati karpet nya
sudah bersih dari bungkus – bungkus kotoran. Rak buku yang tertata rapi. Debu –
debu si setiap sudut yang entah menghilang kemana? Perabotan makan yang sudah
tercuci bersih. Baju – baju yang sudah dirapikan. Dan aroma wangi ruangan yang
menyejukkan seperti parfum. Setelah menoleh – noleh seperti petani yang sedang
mengincar kancil yang kedapatan mencuri timunnya, kemudian kak Andi
memerhatikanku dengan seksama.
“Lili,
kaukah yang merapikan dan membersihkan segalanya?”
“Ah, iya, hehehe, “ Jawabku sambil kembali membasuh keringat yang
mengucur dari kepala yang membasahi
pipiku.
Kak
Andi kemudian melihat ke arah bawah, sadar mendapati dirinya hanya mengenakan
celana pendek saja setelah mandi dan sontak berkata “Maaf,” lalu segera dia
menuju ke tas koper yang berisi pakaian, mengambil sebuah kaos dan memakaianya.
Aku
memang sengaja membersihkan kamar kak Andi ketika dia mandi. Setidaknya ingin
memberikan kejutan kepadanya. Untunglah rencanaku berhasil, meski harus
menggebu – gebu tadi saat membersihkannya karena khawatir kak Andi akan selesai
mandi sebelum segalanya beres.
Setelah
menyampirkan handuk, kak Andi kemudian duduk dihadapanku. Jarak kami dibatasi
oleh sebuah meja mini yang biasanya kita buat untuk belajar bersama. Meskipun
kak Andi belum merapikan janggut serta rambutnya yang masih panjang berantakan,
namun kini wajahnya sudah segar selepas mandi.
“Lili,
hmm tak seharusnya kamu repot – repot membersihkan kamarku seperti ini, katanya
sambil menggaruk – garuk kepalanya.
“
Tidak apa – apa kak. Lagian semua kulakukan atas keinginanku sendiri.
Sebenarnya aku tak ingin belajar dengan keadaan kamar kakak yang berantakan.
Aku ingin suasananya bersih seperti dulu. Lagipula, sebagai balas budi juga
karena selama ini kakak selalu mau mengajariku belajar matematika.”
“Hmm..,
kalau begitu aku sungguh berterima kasih banyak Lili atas kebaikanmu, “ ucap
kak Andi dengan ekspresi datar. Sebenarnya aku ingin kak Andi tersenyum atau
sebagainya melihat apa yang kulakukan. Tapi mungkin kejutan ini masih tak
berhasil membuat suasana hatinya yang sedang kalut menjadi sedikit lebih riang.
Kemudian terdengar handphone kak Andi
di atas meja kembali bergetar. Kak Andi sontak lama memandanginya dan sama
seperti biasanya, dia tak mengangkatnya. Saat itulah kurasa aku sebaiknya pamit
dulu. Sepertinya aku malah mengganggu posisi kak Andi yang seharusnya di saat -
saat seperti ini butuh kesendirian untuk menenangkan pikirannya. Dan saat
hendak beranjak dari posisi duduk, tiba – tiba saja kak Andi berkata;
“Oh, iya Lili, mau aku buatkan roti selai madu kah?”
Mendengar
itu, perasaanku langsung senang. Itu menandakan bahwa kak Andi ingin diriku
sedikit lama berada di kamarnya. Saat tawaran roti selai madu itu terlontar
dari mulut kak Andi, posisiku sempat sedikit mengangkat tumit dan ingin
beranjak berdiri. Dan setelah mendengar tawaran kak Andi, entah kenapa tubuhku
mendadak membeku. Sontak saja langsung aku jawab aku ingin roti selai buatan
kak Andi. Kemudian setelah menjawab, kulemaskan tumitku dan akhirnya aku
kembali duduk serta batallah sudah niatku untuk pergi.
Ketika
kak Andi menyodorkan roti selai madu buatannya aku langsung menyahut dan
mengunyahnya keras – keras. Kulihat kak Andi juga mengigit rotinya sendiri.
“Kenapa
kamu tak ikut kedua orang tuamu ke kelurahan mengikuti acara malam 17 Agustusan?
Bukannya kamu panitia yang mendekor panggung acara?” Tanya kak Andi dengan
mulut penuh gigitan roti.
“Pas
lomba kemarin aku memenangkan hampir semua perlombaan loh. Kalau tidak salah
aku juara 1 sebanyak 7 kali lomba yang aku ikuti. Ada lompat karung, bawa kelereng
dengan sendok, panjat pinang, dan apalah banyak pokoknya. Aku gak berangkat
karena malu nanti dipanggil 7 kali ke panggung saat penyerahan hadiah. Mana
nanti disuruh berpidato menyikapi hari kemerdekaan ini. Kalau suruh adu lomba
sih oke, tapi lo pidato di depan banyak orang, aduuhh, rasa percaya diriku tiba
– tiba meninggalkanku, “ jawabku dengan penuh antusias dan tanpa sadar aku
melihat kak Andi tersenyum melihatku. “ Apa yang lucu kak”? Tambahku kepada kak
Andi.
Kamu
anak yang tak terlalu bagus dalam hal pelajaran Lili, “ Kata Kak Andi. Hanya
saja kamu terlalu hebat untuk hal – hal diluar non formal seperti menjalin
komunikasi dengan ayam – ayammu. Memenangkan bayak lomba seperti yang kamu
ceritakan barusan. Memberikan kejutan seperti membersihkan kamarku disaat aku
mandi. Sebenarnya ini luar biasa kamarku menjadi bersih hanya dalam jangka
waktu hanya 20 menit saja selang aku tinggal mandi. Kalau aku sendiri yang
membersihkan mungkin butuh waktu hampir 1 jam. Kau ingin tahu sesuatu yang lain?”
“Apa
itu, “ Kataku penasaran campur bahagia karena kak Andi masih tersenyum hingga
saat ini. Senyumannya ini yang aku tunggu karena sekembalinya dari Surabaya,
kak Andi hanya menunjukkan wajah muram seperti hantu di malam jumat kliwon.
“
Ketika aku seusiamu, aku bahkan tak pernah menjuarai satupun lomba pada saat
acara memeriahkan 17-an. Hingga pada malam hari kemerdekaan aku pernah menangis
keras – keras karena tak pernah naik panggung menerima hadiah. Tangisanku
sontak membuat heboh dan akhirnya ada temanku yang merelakan kado hadiah juara
lombanya untukku. Seketika itupun aku berhenti mengais,” Ungkap Kak Andi.
Akupun langsung merespon dengan tawa yang keras setelah mendengar ceritanya.
“
Jadi kamu dulu itu adalah anak yang cengeng ya kak Andi, “ tukasku sambil
tertawa keras sampai tak sadar masih ada roti di dalam mulutku.
“Hei,
aku bukan anak cengeng, “ kilah kak Andi dan tetap saja aku masih terus
mengejeknya dengan candaan. Setelah itu, perbincangan kami terus berlanjut
tanpa sadar seakan tenggelam dalam arus obrolan yang hanyut dalam aliran menuju
muara yang tak berujung.
*****
Pagi
harinya sepulang upacara hari kemerdekaan di sekolah, kurang lebih pukul 10.00,
aku menggedor pintu kamar kak Andi keras – keras. Ketika pintu terbuka, aku
sedikit terkejut mata kak Andi agak memerah dan tangannya menggegam handphone.
“Oh,
Lili. Ada perlu apa?” Tanya kak Andi bersandar pada ujung pintu dengan masih
menggunakan seragam mengajarnya.
“Mata kakak kenapa merah?” Tanyaku.
“Oh,
ini tadi terkena debu saat kita perjalanan pulang tadi naik sepeda,” jawabnya
lagi – lagi berbohong meskipun sebenarnya aku tahu akhirnya kak Andi menerima
panggilan pacarnya Ayunda Lestari dan sepertinya terjadi pertengkaran atau
percakapan yang buruk.
“Oh,
iya kak. Aku mau mengajak kakak ke sungai tempat aku dan Ujang, Rara serta
Mimit biasanya bermain. Aku jamin kakak bakal suka, karena viewnya indah.” Ajakanku kepada kak Andi. Tapi reaksinya sepertinya
menandakan kak Andi enggan menerima ajakanku.
“Sebetulnya
aku juga mau menemani tapii....,” belum selesai kak Andi mengutarakan alasan
penolakannya tiba – tiba dia berteriak dengan kencang; “Awww!” Sontak aku juga
terkejut dan kak Andi mengangkat serta memeganngi telapak kakinya.
Ternyata semua ini adalah ulah Ujang yang mematuk telapak kaki kak Andi.
Akupun juga heran mendadak saja Rara, Mimit dan Ujang sudah berada dibawahku.
Seakan mereka mempunyai telepati untuk membaca pikiranku, mengetahui jika aku
mempunyai rencana untuk pergi ke sungai yang notabene tempat bermain kesukaan
mereka.
“Apa
– apaan sih ayammu ini!, “ desah miris kak Andi sambil mengelus – elus telapak
kakinya.
“Kurasa
Ujang juga menginginkan kakak ikut deh main ke sungai,” Ujarku. Kemudian kak
Andi memandangiku dan aku memberikan ekspresi memelas kepadanya; “ kumohon
kak!”
*****
“
Kenapa kamu tak bilang dari dahulu jika ada sungai besar di area desamu,” Kata
kak Andi dengan ekspresi kagum.
Kulihat
Ujang, Rara dan Mimit sudah asyik bermain sendiri di pinggir bantaran sungai.
Memang tak bisa dipungkiri, jika di suatu daerah kebanyakan warganya selalu
berkumpul di alun – alun kota untuk menghabiskan akhir pekan maupun sekedar refreshing, maka kalau di desaku, sungai
ini adalah pilihan utamanya. Selain airnya yang jernih, arusnya yang deras
namun dangkal, batu – batuannya yang besar, gemericik airnya yang menggoda
telinga, terutama udaranya yang super sejuk walau di siang hari, itulah nilai
utama kekuatan daya tarik sungai ini. Aku memang sengaja mengajak kak Andi ke
sini untuk menyegarkan pikirannya. Agar tak terlalu larut dalam permasalahan
yang terjadi antara dirinya dan pacarnya. Dan yang pasti, tujuanku sukses besar
hari ini.
Kulihat
kak Andi langsung berlari naik ke salah satu batuan bulat yang kokoh yang
berdiri tegap di atas sungai. Dia berdiri dan melihat sekeliling.
“Wow,
ini sih keren, “ Ungkapnya kagum. “Coba kamu bilang dari dulu ada sungai
seindah ini Lili”
“Nah,
apa kubilang! Kakak pasti menyukainya, “ kataku menegaskan. Lalu kemudian aku
juga berlari menaiki salah satu batuan yang ukurannya tak terlalu besar membelakangi
kak Andi. Aku angkat tanganku, menegapkan dadaku dan menghirup udara sebanyak –
banyak. “ Hmm segarnyaa..,” Ungkapku dengan penuh kelegaan.
“Lili,
coba menoleh kemari”, tiba – tiba saja Kak Andi memanggilku. Dan, tepat ketika
aku memalingkan wajah ke arah kak Andi, sebuah bunyi shutter kamera handphonenya
berbunyi. Clikk!! Kemudian kupandangi kak Andi tersenyum sendiri memandangi
hasil jepretannya.
“Hah,
apa – apaan sih kamu kak asal jepret segala!!” Kataku geram. Kemudian aku
melompat dari batu, berjalan menuju ke arah kak Andi dengan langkah yang
menimbulkan bunyi gemericik. “ Sini kak berikan padaku aku ingin lihat, “
pintaku pada kak Andi tapi dia tak mau menyerahkannya karena alasan pasti aku
akan menghapusnya sambil tersenyum kecut.
Langsung
aku menengadahkan tanganku untuk mengambil handphone
yang berada di genggamannya, tapi secara gesit kak Andi berhasil menghindari
gerakan tanganku. Hah, aku makin kesal, kak Andi melompat ke batuan yang lain
dan aku tetap mengejarnya. Karena tinggi kami yang berbeda jadi aku kesusahan
meraih tangannya, dan kak Andi tetap saja memancingku dengan godaan tawanya.
Aku memasang muka geram terhadap kak Andi, tapi sebenarnya hatiku tertawa geli.
Sayangnya momen canda ini harus berhenti karena handphone kak Andi kembali bergetar. Dan tak perlu kutebak lagi
siapa yang menghubunginya.
Kak
Andi mendadak berhenti seolah – olah berubah menjadi patung. Wajahnya menjadi
kembali kalut memandangi layar handphonenya.
Karena aku tak ingin momen ini dirusak oleh pacarnya, maka aku melompat dari
batu, menuju ke tengah sungai yang kedalamannya lebih menjorok, setelah itu
kumasukkan dalam – dalam kedua tanganku dan sekuat tenaga kucipratkan gumpalan
– gumpalan air kepada kak Andi.
Byuuuurrr!!
Suara air menciprati tubuh kak Andi yang sedang mematung. Respon tubuhnya
seperti orang yang kaget setengah mati. Dia menoleh padaku dan berteriak, “
Lili jangan nakal ya!!”
Dan
akhirnya, apa yang aku upayakan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap
pacarnya berhasil. Kak Andi melucuti kaosnya untuk menutupi hanphonenya yang dia letakkan di atas
batuan yang dipijaknya. Setelah itu dia melompat ke sungai dan menimbulkan
debum suara air yang keras kemudian dengan cepatnya membalas seranganku tadi
dengan cipratan air yang lebih banyak lagi karena tenaga kak Andi lebih kuat
dariku.
Byuurrr!!!
Akhirnya serangan balasan kak Andi berhasil mengenaiku sebagai sasaran. Aku
agak sedikit terpelanting dan hampir terseok jatuh mendapati guyuran air dari
kak Andi. Tapi aku tak tinggal diam begitu saja, dengan cepat aku juga langsung
membalas serangan kak Andi, sayangnya kak Andi bisa menghindarinya untuk kali
ini. Dan begitulah, hari itu kami menghabiskan waktu bermain air di sungai
hingga menjelang tengah hari. Ujang, Rara dan Mimit setidaknya mereka menjadi penonton
yang setia pada saat itu.
*****
Keesokan
paginya hal luar biasa terjadi. Pukul 06.00 pagi, ketika aku menuju kandang
ayam seperti biasanya, kulihat kak Andi jongkok di depan kandang ayam sudah
siap dengan seragam mengajarnya dan sedang memberi makan Ujang, Rara dan Mimit.
Yang luar biasa kak Andi mengelus – elus kepala Ujang dengan santainya dan
Ujang seakan menikmati belaian sayang dari kak Andi. Sesuatu hal yang tak bisa
dipercaya karena mereka berdua sebetulnya tak begitu akur.
Aku
melangkah mendekati mereka namun terhenti ketika melihat sesuatu yang teronggok
di kotak sampah di depan kamar kost kak Andi. Awalnya aku agak ragu dengan apa
yang aku lihat namun aku yakin sesuatu yang teronggok di tempat sampah itu
adalah sesuatu yang aku kenal pasti. Dalam himpitan plastik dan kotak – kotak
cemilan serta minuman, kuraih sebuah kertas yang menyelip diantara sampah –
sampah dan kutarik kertas itu. Dan aku sendiri tak peracaya, dalam jepitan dua
buah jariku, kupandangi wajah kak Ayunda Lestari yang sangat cantik seolah sedang
mengamatiku. Ya, itu adalah foto kak Ayunda kekasih kak Andi. Lantas kenapa
bisa ada ditempat sampah seperti ini?
“Lili,”
seru kak Andi. Kemudian aku menoleh ke arah dirinya dan menyembunyikan foto kak
Ayunda dibalik rok seragam sekolahku. Kulihat kak Andi berdiri dan mendekat.
Kupandangi ada yang berbeda kali ini dengan kak Andi. Rambutnya kini sudah
dicukur, disisir rapi dengan balutan pomade. Berewoknya juga sudah hilang, kini
area dagu dan pipinya bersih mulus seperti sedia kala. Kak andi sudah kembali
keren seperti biasanya. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah dengan dibuangnya
foto kak Ayunda ini menandakan bahwa kak Andi sudah memutuskannya? Dan dengan
berubahnya tampilan kak Andi yang sekarang sudah keren seperti sedia kala
menandakan bahwa dia sudah bisa move on?
“Lili,
sudah siap untuk berangkat, “ Tanya kak Andi sambil dia menuntun sepeda Ayah
sembari menghampiriku.
“Eh,..
iya, siap Pak Guru, “ jawabku sambil secara diam – diam aku memasukkan lembar
kertas foto kak Ayunda ke dalam saku celanaku begitu kak Andi mulai berjarak
tak jauh dariku.
Ketika
perjalanan berboncengan menaiki sepeda, kak Andi sudah kembali berceloteh
seperti kicau burung di pagi hari. Aku senang akhirnya kak Andi kembali seperti
semula. Dulu, ketika pertama kali
mengetahui dia mempunyai pacar yakni kak Ayunda, duh rasanya hati ini
benar – benar galau. Emosi bergelut tak karuan di hati. Namun mau bagaimana
lagi, ingin memprotes kepada siapa kalau kak Andi sudah ada yang punya? Saat
itu aku menyadari bahwa sebenarnya aku menjadi egois jika marah – marah tanpa
alasan yang jelas. Dan aku mulai bersyukur setidaknya bisa menyukai kak Andi
sebatas kakak – adik.
Tapi mengetahui kak Andi menjadi kacau setelah mempunyai masalah dengan
kak Ayunda, rasa – rasanya hati ini tak tega melihat orang yang kita sukai
berubah dalam keterpurukan. Walhasil, entah kenapa aku menjadi lebih perhatian
ketika kak Andi sedang dirundung cobaan. Aku hanya berusaha, apapun itu agar
kak Andi kembali tersenyum. Bisa dibilang rencanaku itu berhasil. Sekarang kak
Andi sudah kembali lagi seperti semula. Hanya saja sangat disayangkan
kemungkinan besar kak Andi memutuskan hubungannya dengan kak Ayunda ditandai
dengan dibuangnya foto kekasihnya dan perubahan drastis pada diri kak Andi pada
pagi hari ini. Memang, disisi lain aku menyayangkan andai saja hubungan kak
Andi dengan kak Ayunda benar – benar pupus - disitu aku merasa agak sedikit
jahat karena mempunyai perasaan lega jika kak Andi kembali menjadi jomblo. Dan
jika benar – benar kak Andi nantinya mempunyai status jomblo, akankah aku
berani menyatakan perasaanku diluar batas sekedar hubungan kakak- adik ini? Dan
akankah kak Andi mau menerima perasaanku untuk menggantikan diri kak Ayunda di
dalam hatinya? Baru kali ini dalam hidup aku takut akan sebuah jawaban.