Memasuki
awal musim penghujan, memang hawanya tidak begitu mengenakkan. Ketika mendung
tiba, udara menjadi sedikit panas bercampur lembab. Aku tidak begitu suka
keadaan seperti itu, membuat keringat ini dengan sendirinya keluar tanpa
melakukan gerakan olahraga sedikitpun. Memang musim penghujan kali ini datang
lebih cepat daripada tahun – tahun sebelumnya.
Pada
tahun sebelumnya aku teringat jika hujan tiba, aku selalu bermain dengan Ujang,
Rara dan Mimit di kamar kost dibelakang halaman rumah ketika belum ada
penghuninya. Saat ini ketika hantaman air hujan yang bertubi – tubi membasahi
genting rumahku, dari teras belakang rumah, sambil bersandar di mulut pintu,
yang kulakukan hanya memandangi kandang Ujang, Rara dan Mimit dari kejauhan. Maap, aku tak tahu harus mengajak kalian kemana
lagi jika hujan tiba. Markas bermain kita sekarang sudah dihuni oleh kak Andi.
Kupikir mulai besok aku harus mengubah jadwal bermain kita mengingat musim
penghujan sudah tiba.
Kupalingkan
tatapanku pada kamar kost yang dihuni oleh Kak Andi. Kulihat pintunya tertutup
erat. Begitu pula dengan jendelanya. Tak kudapati kali ini sepatu hitam yang
biasanya tergeletak sembarangan di emperan terasnya. Yang kulihat hanyalah
genangan – genangan kecil air yang terbentuk akibat siraman hujan. Kutengadahkan
kepalaku dan kupandangi langit hitam yang mendung. Mengamati cuaca langit saat
ini, rasa – rasanya suasana mendung juga sedang menyelimuti hatiku. Kak Andi
hari Jum’at kemarin kemarin pamit pulang ke Surabaya selama 3 hari karena alasan Ibunya sedang
sakit. Mendengar itu dari Ayah berarti 3 hari ini aku harus belajar sendiri tanpa
dirinya. Aku ingat malam Sabtu kemarin ketika mengerjakan soal – soal di LKS
matematika. Aku bisa mengerjakan beberapa soal, konsentrasiku tak tergoyahkan
ketika memecahkan perhitungan, hanya saja, sepertinya ada yang kurang dalam hati
ini tanpa kehadiran kak Andi. Entahlah, mengapa aku merasa seperti kesepian
tanpa kehadiran kak Andi? Bukannya ada Ayah, Ibu, Ujang, Rara dan Mimit? Tapi
apapun itu, perasaan ini muncul begitu saja. Atau mungkinkah ini yang disebut
rindu...? Aku tak mau banyak ambil pusing mengenai pergolakan yang terjadi di
hatiku. Hari minggu sore ini, suasana ditutup dengan kucuran air hujan yang tak
ada hentinya sejak siang tadi. Yang aku harap, semoga Ibu kak Andi cepat
diberikan kesembuhan sehingga besok hari Senin aku bisa menyambut kepulangan
dirinya.
******
Pada
Senin sore yang cerah dan tidak hujan seperti hari – hari kemarin, setelah
memasukkan Ujang, Rara dan Mimit ke dalam kandang, begitu senangnya diriku
ketika mendapati bahwa pintu kamar kost
Kak Andi sudah terbuka sedikit. Kuperhatikan, sepatu warna hitamnya juga sudah
berserakan di emperan teras, sesuai dengan sifat kak Andi yang tak pernah
peduli dimana dia meletakkan sepatunya sesampainya di kost. Mengetahui itu,
aku langsung mandi. Anehnya mandi kali
ini aku kerap menyanyikan lagu – lagu pop melow yang sedang hits di kancah siaran radio lokal
ditempatku. Apakah aku terlalu girang karena kedatangan kak Andi sehingga aku
menjadi terlalu ber-euforia yang akhirnya membuat Ayahku menegurku karena
terlalu lama mendekam di kamar mandi
layaknya burung yang sedang mengerami sarangnya.
Setelah
melaksanakan kewajiban shalat Mahgrib, tepat pada pukul 6 malam, aku langsung
meluncur ke kost kak Andi. Aku sengaja ingin belajar lebih awal dengan alasan
agar bisa lebih berlama – lama dengan dirinya. Tidak bertemu dengan kak Andi
selama 3 hari saja, entah bagaimana rasa – rasanya seperti seminggu dan sontak
saja aku teringat lagu romantis yang sedang ngetren di radio yang lirik lagunya
sama dengan suasana hatiku saat ini.
Namun
dari kejauhan, begitu terkejutnya diriku mendapati bahwa kamar kost kak Andi
gelap gulita tanpa penerangan lampu. Pintunya pun posisinya masih seperti tadi
sore dengan posisi hanya terbuka sedikit. Rasa penasaran mendadak menyesaki
otakku yang sontak membuatku langsung berlari ke arah kamarnya.
Ketika
sampai di depan pintu, kuintip ke dalam pada celah pintu yang terbuka. Tidak
begitu jelas apa yang terjadi di dalam karena gelap, namun karena sisa – sisa
cahaya dari lampu penerangan kandang ayam, yang meski jaraknya berjauhan dengan
kamar kak Andi, setidaknya sedikit membantuku untuk melihat sosok kak Andi yang
sedang duduk membelakangi meja mungilnya. Apa yang dilakukannya gelap – gelap
di dalam kamar duduk termenung diam dengan pandangan tertunduk seperti itu? Apa
kak Andi masih sedih dengan kondisi ibunya yang sedang sakit?
Karena
merasa ada yang tak wajar terjadi dengan diri kak Andi, maka kuberanikan diriku
untuk mengetuk pintunya. Tok – tok – tok!!! Untuk ketukan yang ketiga sengaja
kukeraskan kepalan tanganku pada kayu jati yang menjadi bahan dasar pintu
kamar. Dan akhirnya berhasil, ketukan pintu yang kulakukan membuat kak Andi
tersentak kaget dalam diamnya. Meski samar – samar, kulihat dia menoleh ke
belakang. Akhirnya, kak Andi berdiri dengan cepatnya. Aku sempat takut karena
keadaan di dalam gelap, dan sosok kak Andi hanya terlihat samar- samar dalam
gelap, jantungku sempat berdegup kencang andai jika sok – sok hitam yang
berdiri itu bukan kak Andi melainkan wewe
gombel ataupun genderuwo. Tapi
syukurlah, ketika lampu dinyalakan, 100% itu adalah sok – sok kak Andi yang
asli bukan mahkluk jadi – jadian ataupun sebagainya seperti yang kukhawatirkan.
Krieettt
bunyi pintu terbuka dan kak Andi berdiri tegap dihadapanku. “Oh, Lili,...”
hanya itu kata yang terucap di mulutnya dengan nada lemas. Kulihat wajahnya
sangat kusam, dan kupikir kak Andi belum mandi sepulang dari perjalanan.
Sebulan berada di kost kuamati rambutnya sudah memanjang dan kondisinya
kudapati saat ini sangat acak – acakan seakan kak Andi menjambaki sendiri
rambutnya sampai amburadul. Kami sempat lama saling pandang dalam diam. Lebih
tepatnya aku bingung ingin mengucapkan sepatah kata apa terhadap diri kak Andi
yang kupikir berbeda kali ini. Dalam matanya, kulihat tatapan kosong yang
seolah diriku tak ada dalam penglihatannya. Entah pikiran apa yang membebani
dalam otaknya hingga membuatnya seperti ini, tapi kupikir karena keadaan ibunya
yang sedang sakit.
“
Oh, ya Lili,” Ucap Kak Andi masih dengan
nada lemas. “ Bisakah hari ini kita tidak belajar bersama dulu? Emm..badanku
agak tidak enakan.”
“Oh....,hanya
begitulah reaksi kecewaku dengan permintaan kak Andi. Meskipun kulihat tak ada
sedikit pun tanda – tanda meriang pada diri kak Andi. “Baiklah kak, aku pamit
dulu,” kataku pada kak Andi yang kini bergantian menggunakan nada lemas.
“Oh,
tunggu dulu Lili, “ Kak Andi seketika menghentikan langkahku. Hampir saja lupa,
aku membawakan oleh – oleh untukmu dan Ayahmu, masuklah sebentar”. Perkataannya
itu sedikit mengobati rasa kecewaku karena tak dapat belajar bersama hari ini,
namun setidaknya ada sedikit waktu bagiku dengan kak Andi meski hanya perihal
oleh – oleh.
Sesampainya
di dalam kamar, kak Andi menyuruhku duduk di depan meja mungil sembari dirinya
membelakangi diriku sambil membuka sebuah kardus yang diikat erat oleh tali
rafia dan ditempel erat menggunakan plester. Di depanku, tergeletak sebuah buku
catatan yang lupa ditutup oleh kak Andi. Buku itu mempunyai dimensi yang kecil
namun tebal. Setelah kucermati ternyata buku itu adalah sebuah buku harian.
Wow, kak Andi ternyata menulis dan mencurahkan segalanya di buku hariannya. Aku
sendiri malah tak berfikir dua kali untuk menulis seperti apa yang dilakukan
oleh kak Andi. Ujang, Rara dan Mimit adalah tempat terbaik bagiku untuk
mencurahkan segalanya selama ini meski aku tahu mereka tidak akan paham semua
yang aku utarakan namun aku merasa lega jika melakukannya.
Kalau
dipikir – pikir, ternyata di dalam kamar ini daritadi kak Andi sedang menulis
di buku hariannya. Tapi agak janggal juga jika kak Andi menulis dalam keadaan
gelap gulita ketika diriku mengunjunginya. Yang kulihat samar – samar tadi
bahwa kak Andi duduk tertunduk lesu dan pandangannya mengarah ke arah buku
diari yang ada dihadapanku ini. Lalu apa yang direnunginya dari buku diari ini?
Aku jadi penasaran dan otakku mulai mendesakku untuk memberikan perintah agar memanfaatkan
kesempatan membaca tulisan yang tertuang dalam buku diari ketika kak Andi
sedang sibuk mengeluarkan oleh – oleh dari dalam kardus. Ketika sebatas membaca
dua kalimat, langsung aku menengadahkan kepalaku ke arah atas. Tidak boleh, tidak boleh, ini rahasia orang
lain, aku tak boleh diam – diam membacanya .Seketika itu juga, handphone
milik kak Andi bergetar dan layarnya yang berukuran besar menyala. Dan tanpa
sengaja, aku membaca rentetan pesan yang membentuk kronologis seperti chat.
Nama pengirimnya bernama Zaenal. Tetapi kak Andi dalam kontak pesannya
memberikan nickname Zaenal bestfriend, menandakan Zaenal lebih dari sekadar
teman, bisa jadi sahabat sejati. Dalam salah satu paragrahnya, aku sedikit tertegun
ketika membacanya.
Bukankah
sudah aku bilang. Ayunda bukanlah gadis yang baik buat kamu. Kupikir dia jadian
dengan kamu hanya untuk mengisi hatinya yang kosong saat ditinggalkan oleh
Anton kekasihnya yang pernah putus saat mereka SMA. Maap jika aku mengatakan
kepadamu bahwa aku mendapati Ayunda dan Anton terlihat sangat berdekatan sekali
ketika mereka berdua dipertemukan dalam satu desa tempat dimana mereka berdua
saat ini PPL di Surabaya. Zack yang satu tempat PPL dengan Ayunda memberitahuku
bahwa dia melihat kamu dan Ayunda terlibat adu mulut minggu kemarin. Hmm, tega
sekali kamu tidak memberitahuku jika dirimu pulang beberapa hari ini ke
Surabaya untuk menindaklanjuti laporanku mengenai Ayunda. Ingat, kau masih
berhutang padaku lontong balap loh, hehe.
Begitulah,
sebuah paragraph pesan masuk di hanphone milik kak Andi yang membuatku tertegun
setelah membacanya. Di sini aku menemui titik terang bahwa ternyata kak Andi
kembali ke Surabaya kemarin bukan karena urusan Ibunya yang sakit, melainkan
menindaklanjuti masalah dengan pacarnya berdasarkan laporan – laporan dari
sahabatnya Anton yang juga satu area PPL dengan Ayunda. Namun aku belum 100%
paham betul dengan masalah yang dihadapi oleh kak Andi. Jalan alternatif untuk
mengetahui semuanya adalah dengan membaca sebuah diari yang ada dihadapanku
ini. Kutajamkan pandanganku ke arah lembaran kertas diari yang ada dihadapanku,
kemudian kulanjutkan kembali tulisan dari dua kalimat awal yang sempat tertunda
tadi. Namun tiba – tiba suara guntur muncul dengan kerasnya dan memekakkan
telinga. Karena pintu kamar tidak ditutup, hembusan angin memasuki ruangan
kamar. Beberapa lembar kertas diari tersibak karena hembusan angin, dan
selembar kertas ukuran kartu nama namun sedikit lebih lebar keluar dari
lembaran kertas yang tersibak dan terbang melayang. Dengan respon cepat aku
menangkap kertas yang melayang itu. Dalam genggaman tanganku, aku merasakan bahwa
ini adalah selembar foto. Posisi saat aku menggenggamnya adalah foto itu
membelakangi wajahku. Jadi hanya lembaran warna putih bagian belakang foto saja
yang kudapati. Tapi di lembaran warna putih yang memenuhi seluruh bagian
belakang kertas poto itu terdapat tulisan My
First Love. Aku sangat tahu tulisan tangan ini milik kak Andi. Ketika
kubalikkan lembaran kertas foto itu, terdapat sebuah gambar seorang gadis
setengah badan dengan raut wajah yang sedang tersenyum.
Gadis
itu memakai seragam almameter kampus yang sama dengan kak Andi. Latar belakang
di foto tersebut adalah sebuah pohon yang rindang di tengah taman yang luas.
Gadis itu berwajah oval, namun kesan ovalnya tertutupi oleh model rambut
pendeknya yang tidak sampai sebahu bergaya poni yang lebat diatas jidatnya.
Bentuk wajah, gaya rambut disandingkan dengan senyumannya saat dipotret,
memberikan keserasian yang optimal untuk menimbulkan sebuah kesan manis dan
imut dalam dirinya. Di sisi bawah sebelah kanan foto tersebut, terdapat tulisan
tangan kak Andi yang merangkai sebuah nama Ayunda Lestari.
Kresek
– kresek, bunyi plastik terdengar seperti bunyi seekor tikus yang mencari –
cari remahan makanan di semak – semak dapur. Ternyata bunyi itu berasal dari
kak Andi yang sudah berhasil mengurai ikatan dan membuka kardus dan
mengeluarkan beberapa makanan yang dibungkus oleh plastik yang tebal. Sontak
saja ketika itu aku langsung kembali menyelipkan foto kak Ayunda kembali ke
dalam tumpukan lembaran diari yang berada didepanku. Pas saat wajah kak Andi
menoleh ke arahku sambil berkata mengenai oleh – oleh kerupuk ikan yang
dibawanya, foto itu sudah aman kembali ke posisinya semula.
Setelah
berpamitan kepada kak Andi aku berjalan menjauhi kostnya. Dengan kedua tanganku
yang mendekap dua buah krupuk ikan oleh – oleh dari kak Andi beserta buku –
buku LKS dan pelajaran yang kujadikan satu, aku mendadak memberhentikan
langkahku. Kubalikkan badanku dan sekarang aku menatap kamar kost kak Andi
dari kejauhan sambil berdiam diri. Langit mulai menyala – nyala akibat guntur
yang muncul secara bertubi – tubi tanpa mngeluarkan gelegar suaranya
sedikitpun. Rintik hujan, mulai kurasa sedikit demi sedikit membasahi tubuhku.
Seumur hidup, baru kali ini aku mengalami sebuah perubahan perasaan yang sangat
drastis. Dari awalnya aku yang sangat bersemangat ingin segera menemui kak Andi
sepulangnya dari Surabaya karena dorongan perasaan yang belum pasti juga
kuyakini sebagai sebuah perasaan rindu, secara drastis tiba – tiba saja berubah
menjadi sebuah perasaan yang sedikit mengena di hati. Saat ini diriku benar –
benar merasa...galau.
( 31 - 05 - 2015 )
ARIEF W.S
TERIMA KASIH