Aku mencari si Ujang. Sudah kutelusuri di kandangnya, aku
singkap dedaunan lebat di kebun yang biasa menjadi tempat berteduhnya, kudatangi
pinggiran sungai yang menjadi tempat tidur santainya di atas bebatuan, namun
tak kunjung kutemukan tanda – tanda kehadiran sosok dirinya.
“Lihat, kemana lagi
kali ini si Ujang menghilang,” Kataku kepada kedua buah ayam yang masing –
masing kudekap di sisi kanan dan kiri tubuhku. Satu yang sebelah kiri bernama
Ratih, dan satunya bernama Mimit.
Untuk yang kesekian
kalinya si Ujang menghilang dan untuk kesekian kalinya juga dia terlalu lama
untuk ditemukan. Aku sedikit khawatir mengenai dirinya, takut kalau – kalau dia
nyasar ke dunia antah berantah di luar sana. Tersesat tanpa arah yang jelas.
Baginya mungkin bukan hal yang perlu dikhawatirkan karena dia hanya seekor
ayam. Tapi bagiku akan menjadi hal yang menyedihkan karena dia satu – satunya
ayam jago yang kusayang.
Karena hari sudah sore,
maka aku memutuskan untuk pulang dan menghentikan pencarian. Terlebih dahulu aku
mampir di bagian belakang halaman rumah
untuk memasukkan Ratih dan Mimit ke kandangnya. Disitu aku juga berharap Ujang
sudah berada disana. Ketika sampai di halaman belakang, aku terkejut melihat
pintu kamar kost yang berada beberapa meter di depan kandang ayam terbuka. Di
halaman terasnya yang kecil, tergeletak sepasang sepatu sekolah lelaki dengan
kaos kakinya yang berserakan di lantai.
Ayahku memang membuka
usaha kost – kost san di halaman samping dan belakang rumah. Kebanyakan yang
menghuni kost adalah mereka para
perantau dari luar kota yang bekerja di kota Malang yang letaknya tak begitu
jauh dari desa dimana tempatku tinggal. Intinya letak kost milik ayahku sangat
strategis. Sudah lebih dari setahun satu – satunya kamar kost yang berada di
halaman belakang kosong karena tak ada yang mau menyewanya. Tak heran karena
letaknya berada di depan kandang ayam dan dibawah pohon mangga yang lebat
dedaunannya. Sebagaimanapun usaha ayahku untuk mengurangi tarif harga sewa,
itupun sepertinya gagal menggaet minat pengunjung.
“Petok – petok – petok
!!!” Tiba – tiba saja aku mendengar suara yang tak asing lagi di telingaku. Yah
benar, itu suara Ujang. Kedengarannya sumber suaranya berasal dari dalam kamar
kost itu. Ketika sebatas menapak dua langkah, kulihat Ujang berlari keluar dari
kamar kost. Ekspresinya terlihat marah, dia sepertinya meneriaki seseorang yang
berada di dalam kamar . Setelah itu dengan sigapnya dia menghindari lemparan
sandal jepit yang seperti meriam meluncur dari mulut pintu. Hah, seseorang membuat Ujang marah dan
sekarang menyerangnya dengan sandal jepit, aku tak terima, batinku dalam
hati.
Kulepaskan kedua dekapanku pada Ratih dan Mimit sehingga
mereka meluncur ke tanah dan mendarat dengan gemilangnya seperti atlet Paralayang.
Kemudian aku berlari menuju ke TKP dimana situasi Ujang sedang terancam. Ketika
sampai di depan kost, kulihat Ujang berlari kencang dari dalam menuju ke luar.
Karena kebetulan keberadaannku tepat di depan pintu, maka kujulurkan kedua
tanganku menengadah ke bawah, dan dengan respon yang cepat Ujang melompat ke
arahku dan akhirnya aku bisa menangkap dan mendekapnya di dada. Lalu kulihat,
dari dalam ruangan gelap dibelakang pintu kost, perlahan – lahan muncul sesosok
lelaki dengan tangan kanannya membawa sebuah sandal jepit dengan ancang –
ancang siap untuk melemparkan sandal itu ke arah Ujang yang mana seolah diriku
dan ujang adalah narapidana yang sudah saatnya dieksekusi hukuman mati saja.
Melihatku mendekap Ujang, lelaki itu menghentikan langkahnya dan mengurungkan
niatnya untuk melempar.
“Heh, jangan lempar –
lempar sembarangan begitu kepada ayamku! Bagaimana kalau sampai terjadi apa –
apa?? Mau tanggung jawab?!” Bentakku dengan keras.
“Oh jadi itu ayammu?”
Pantas saja sama galaknya dengan yang punya,” Perkatannya membuatku menjadi
sebal dan Ujang sepertinya juga merasakan hal serupa dalam dekapanku.
“Memang apa yang
dilakukan Ujang sehingga kamu sampai tega melemparnya dengan sandal seperti
ini?” Tanyaku meminta penjelasan.
“Ujang??” Dia hanya
mengulang nama ayam jagoku ini dan kemudian diam sejenak. Sepertinya otaknya
sedang mencerna siapa yang dimaksud dengan Ujang. Ketika dia melirik ayam jago
yang sedang kudekap, sepertinya dia sudah paham apa yang kumaksud.
“Ujangmu keterlaluan,
masak dia membuang kotoran di dalam kamar dan bersikeras tidak mau keluar saat
aku usir. Kau tau butuh 2 jaman lebih untuk membersihkan kamar kost yang
berdebu seperti gudang ini”
“ Aku tidak tahu kalau
hari ini ada yang menempati kamar ini. Sudah kebiasaan aku dan Ujang bermain di
kamar ini karena tidak ada peghuninya dalam waktu yang lama. Jadi maaf kalau dia
mengganggu, “ Jelasku kepadanya.
“Ya sudahlah, bawa
ayammu yang menyebalkan itu pergi “ katanya enteng tanpa mau memahami betul
alasan yang aku utarakan. Kemudian lelaki itu masuk ke kamarnya dan samar –
samar aku dengar dia sedang membersihkan kotoran ayam yang seakan menjadi
bencana. Aku sudah meminta maaf. Sudah menjelaskan masalahnya. Namun sikapnya
tetap menyebalkan. Huh, memangnya enak
ada kotoran di dalam ruangan. Anggap saja aroma kotoran itu sebagai tanda
perkenalanmu dengan Ujang, batinku sambil mengelus – elus kepala Ujang dan
kemudian aku langsung berjalan menuju kandang ayam yang tak jauh dari ruangan
kost lelaki tadi. Kumasukkan Ujang ke dalam kandangnya menyusul Ratih dan Mimit
yang sepertinya sudah terlelap dengan posisi tidur yang aneh. Seketika itu juga
bunyi Adzan Mahgrib terdengar.
###
Ketika keluar dari
kamar mandi sambil membasuh rambutku yang masih basah dengan handuk, aku
melihat di meja makan sudah tertata rapi sebuah hidangan diatas baki yakni
setumpuk biskuit diatas piring yang membentuk gunung dan teh panas yang masih
mengepul yang disampingnya disertakan gula batu. Waduh, perutku langsung
merespon ketika melihat itu. Langsung saja aku lari menghampirinya. Air liurku
sepertinya bergejolak di dalam mulut. Kalau dipikir – pikir tindakanku ini sama
persis saat Ujang, Ratih dan Mimit ketika kuberi makan. Namun bukan hal aneh
sifat majikan menurun kepada peliharaannya. Ketika tanganku hanya berjarak
sejengkal saja dari biskuit yang seakan menggodaku, mendadak tangan ayah muncul
dan menampar pergelaganku.
Plakk!! Bunyi gesekan
dari benturan kedua buah tangan yang tak bisa dihindari lagi. Serentak aku langsung
sebal dengan tindakan yang ayah lakukan. “Ayah apa – apan sih?!!”
“Hidangan itu untuk
penghuni baru kost kita,” Ayahku menegaskan alasan tindakannya.
“Hah lelaki yang
menyebalkan yang menghuni kost belakang itu” Ujarku kepada Ayah.
“Husss, bicara apa
kamu. Namanya Andi. Dia anak yang baik. Dia menyewa kamar kost di belakang
kurang lebih 3 bulan karena ada tugas PPL di jurusannya. Memangnya ada apa
sampai kamu bisa – bisanya mengatai Andi menyebalkan?”
“Ayah tidak tahu sih,
dia tadi membentak – bentak Ujang dan ingin melemparnya dengan sandal. Dia
sungguh kejam!”
“Bukannya sudah ayah
bilang jangan pernah mengajak ayam – ayammu main di dalam ruangan kost di
belakang, alhasil itu akan menjadi kebiasaan mereka.”
“Lagipula kenapa ayah
repot – repot segala menyediakan hidangan seperti ini untuk kak Andi? Biasanya
ayah tidak melakukan hal ini kepada penghuni – penghuni yang lain”
“Kak Andi tidak menawar
sepersen pun harga sewa kost yang ayah ajukan.Itu diluar dugaan mengingat
kondisinya yang lusuh. Terlebih banyak sekali kotoran ayam disitu gara – gara
ayam - ayammu. Kemudian saat ayah ingin membersihkan kamar kost dibelakang
sebelum dihuninya, dia bilang tidak usah repot – repot, dia akan
membersihkannya sendiri. Kurasa dia anak muda yang punya budi pekerti yang
baik. Oleh sebab itu sebagai tanda terima kasih, ayah berikan hidangan ini
untuknya, untuk sedikit meringankan rasa capeknya. Oke, tolong kamu bawa
hidangan ini ke kamar kak Andi”
“ Hah, aku...?”
###
Harusnya, cukup
diperlukan 50 detik saja dari rumahku berjalan menuju ke kamar kak Andi. Tetapi
karena ketidakmahirannku membawa baki yang diatasnya tersaji hidangan, maka
kupelankan langkahku untuk berhati – hati menjaga keseimbangan agar minuman teh
yang kubawa tidak tumpah mengenai biskuitnya. Kulihat ada badai ombak di mulut
gelas yang tercipta karena tanganku yang bergetar hebat. Sepertinya aku lebih
mahir dalam menggendong ayam daripada membawa baki dan menyajikan hidangan.
Sesampainya di depan
halaman kamar kak Andi, kulihat pintunya tidak tertutup rapat sehingga
menyisakan celah kecil yang memancarkan cahaya lampu dari dalam. Ketika tepat
berada di depan pintu, aku mengintip lewat celah yang terbuka. Kulihat dirinya
sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Aku mengucapkan salam dengan keras
sebagai ganti mengetok pintu karena kedua tanganku sedang dengan eratnya
membawa baki hidangan.
Ngiikk, bunyi pintu
terbuka dan sesosok tubuh kak Andi menjulang di hadapanku. Aku baru sadar
tinggiku tak sampai sepundaknya, betapa mungilnya diriku dihadapannya.Ruangan
di dalam sangat terang, hanya tubuh besar kak Andi saja yang terlihat hitam
karena membelakangi cahaya lampu. Aku hampir tak percaya, ruangan kamar kost di
halaman belakang yang hampir tak pernah dihuni sekarang menjadi begitu rapi.
Lantainya bersih ditutupi karpet tipis. Ada kasur lipat. Sebuah meja kecil yang diatasnya
menopang sebuah laptop. Dispenser berukuran mini. Sebuah rak yang diisi
beberapa buku kuliahan, dan beberapa botol madu dan air mineral. Rasa – rasanya
kak Andi menyulap kamar ini dengan sekejap.
“Hei, ada apa? Kenapa
celingukan begitu?” Seru kak Andi dengan
nada penasaran.
Melihat kamar yang
disulap begitu rapinya, aku jadi terlupa dengan tujuanku kemari. Ketika kak
Andi menegurku, aku sedikit tersontak kaget dan peganganku terhadap baki
menjadi agak goyah. Namun refleks
tangan kak Andi memegangi baki di bagian bawah, sehingga hal yang tak
diinginkan tak terjadi meski beberapa biskuit terkena cipratan air teh.
“Oh, maap kak Andi. Ini
ada hidangan dari Ayah,” kataku sambil mengarahkan baki itu ke hadapannya.
Kuamati wajahnya saat ini sudah bersih
tidak kucel dibandingkan saat pertemuan pertama tadi. Dia mempunyai sedikit
janggut tipis yang tumbuh di dagunya. Rambutnya cepak seperti tentara saja
tetapi hitam pekat.
Kak Andi langsung
mengambil teh, gula batu serta piring yang penuh dengan segunung biskuit itu
dan langsung menaruhnya di sisi sebelah meja laptopnya. Kemudian dia kembali
kehadapanku dan berkata; “ucapkan terima kasih kepada ayahmu.”
“ Iya, itu pasti, “ aku
menimpali perkataannya. Kakak sedang mengerjakan apa? “ Tanyaku penasaran
karena sepertinya dia serius sekali tadi di depan laptop. Dia hanya menjawab
sedang mengerjakan racangan pembelajaran. Aku tidak begitu paham apa yang
dimaksudnya.
“Oh, ya namamu siapa?”
Untuk pertama kalinya kak Andi bertanya kepadaku.
“Aku Liliana Safitri,”
jawabku. Biasanya teman – temank memanggilku Lili.
“Kamu masih SD?” Dia
kembali bertanya.
“ Tidak lah, masak
begini dibilang masih SD,” Jawabku agak ketus karena sedikit tersinggung. “Aku
sudah kelas 1 SMP. Ya, sudah ya selamat tinggal kak, “kataku kepadanya dan aku
berjalan meninggalkan kamarnya. Entah mengapa hari ini diriku menjadi gampang
judes kepada orang lain. Apa gara – gara aku belum bisa melupakan soal perkara
ayam sore tadi dengan kak Andi?
“Lili!” Tiba – tiba
saja kak Andi meneriakiku. Aku spontan menoleh kepadanya tanpa menghentikan
langkahku.
“Soal tadi sore, maap
jika aku terlalu kasar. Sampaikan maapku juga kepada entah siapa nama ayammu
itu!”
“Namanya Ujang,” dengan
cepat aku langsung menyahutnya. Perasaanku kini merasa sedikit lebih baik
mengetahui kak Andi mau meminta maaf. Memang kalau dipikir – pikir rasa –
rasanya semua itu adalah salahku membiasakan ayam – ayamku bermain di tempat
yang bukan semestinya. Namun karena egoku, aku merasa tak ingin disalahkan.”
Nanti kalau Ujang berbuat onar lagi, laporkan saja padaku,” Ucapku menutup
perjumpaanku dengan kak Andi malam ini.
###
Rasa – rasanya aneh,
seingatku terakhir kali aku berada di dalam bangku ruangan kelas. Pelajaran
matematika adalah pertemuan pertama pagi ini. Aku tidak suka dengan matematika.
Sungguh aku membencinya. Saat itu mataku sangat kantuk sekali karena malam
harinya aku begadang melihat drama korea hingga larut. Kuputuskan untuk tidur
sebentar di kelas karena Bu Laksmi, selaku guru pengajar matematika entah
kenapa hari ini sudah 15 menit berselang tak kunjung tiba. Malahan tanpa sebab
musabab dan bagaimana asal mulanya tiba – tiba saja aku tersadar berada di
halaman belakang rumahku. Disitu kucermati diriku masih memakai seragam SMP.
Terdengar ada suara keributan di kandang ayam. Setelah kudekati dan kulihat,
hampir saja aku tak percaya dengan apa yang ada di depanku. Ujang, Ratih, Mimit, apa yang kalian lakukan?!
Kulihat mereka bertiga sedang serius mempelajari buku matematika. Di halaman
buku yang terbuka, terlihat materi bab 3 yang menjabarkan mengenai Teorema Phytagoras. Ujang, terlihat
bagaikan yang paling pandai dalam mencerna materi yang dibaca. Dia mengangguk –
anggukkan kepalanya layaknya Professor. Heiii, ini tak masuk akal, bentakku dalam hati. Tanpa menoleh kebelakang
aku sadar bahwa pintu ruangan kamar kost kak Andi baru saja terbuka dan
terdengar langkah kaki menuju ke arahku. Siapa ya batinku yang mendekatiku.
Ingin kumenoleh ke belakang, tapi rasanya leher ini berat sekali untuk
dibengkokkan. Kemudian dua buah tangan, masing – masing mencengkeram pundakku
dan akhirnya pun bumi serasa bergoncang hebat.
“Ssstt – Ssst Lili
bangun Lili!” Terdengar suara bisik – bisik Maulidha teman sebangkuku. Dengan
sikutnya dia menggoncang – goncangkan badanku. Ketika sudah penuh kudapatkan
kesadaranku , kulihat dia memelototiku seakan aku ini mangsa baginya.
“Hooaappp,” aku menguap
keras sekali dan tiba – tiba saja telapak tangan Maulidha menutupi mulutku
seraya berkata dengan nada pelan;
“Kamu ini apa – apaan
sih. Sudah tidur di kelas, mengigau lagi teriak – teriak memanggil – manggil
nama ayam peliharaannmu!” Ketika Maulidha menyinggung soal ayam, seisi kelas
tertawa dengan riuhnya. Aku sangat malu menyadari tindakan bodohku ini.
Kemudian kulihat mata Maulidha berkedip – kedip mengisyaratkan sesuatu. Tidak
butuh waktu lama, aku paham maksudnya. Tanpa kusadari Maulidha memberitahukanku
bahwa ada seseorang yang berdiri disampingku. Aduh gawat batinku, itu pasti Bu
Laksmi. Entah hukuman apa yang akan diberikan akibat tindakan konyolku ini oleh
Bu Laksmi. Dia, salah satu guru yang masuk daftar killer oleh kebanyakan siswa
di SMP ini. Dan ketika aku menoleh dengan pelan, dan memasang ekspresi wajah
menyesal, saat itupun aku terperanjat kaget!
“Hah, Kak Andi! “
Ujarku pelan. Jadi – jadi....kak Andi
ternyata tak kuduga PPL di sekolahku dan mengampu pelajaran matematika,
batinku.
“Hei, ini ruangan
kelas, bukan kandang ayam,” tegur kak Andi sambil bersedekap tangan memandagiku
dengan ekspresi yang tidak jauh berbeda ketika Ujang membuatnya kesal kemarin
sore.
ARIEF W.S 21 - 04 - 2015
TERIMA KASIH